"Han.. Angkat teleponnya dong, Han.. Angkat.."

Suara nada sambung yang entah sudah keberapa kali kembali terdengar. Dengan tangan yang gemetar, Anya mendekatkan telepon genggamnya ke telinga sambil berdoa penuh harap agar orang yang diteleponnya mengangkat.

"Tolong, Han. Angkat.. Inget janjimu, Han.. Inget.."

Sambil meringis, Anya terus saja berbicara diantara air mata dan isak tangisnya. Seperti memeluk, telepon genggamnya begitu erat berada di tangannya.

read more

Coba sekali-kali bermain ke Jawa Timur. Selain Surabaya, ada banyak kota-kota yang menjanjikan banyak kebudayaan dan tempat liburan bagus untuk disimak dan dinikmati. Salah satunya adalah Ponorogo. Ada apa di kota ini? Kota yang tadinya adalah bagian dari Karesidenan Madiun? Oh, ada banyak. Tapi tidak perlu menjelaskan banyak hal karena begitu Ponorogo disebut, sebagian besar dari kita akan langsung teringat akan Reog, kebudayaan turun temurun dari Ponorogo.

www.djisamsoe.com (Seni Reog Ponorogo - Domi Yanto)

Reog, kebudayaan yang serat akan hal mistis dan ilmu kebatinan yang kuat. Kenapa bisa? Bayangkan, kau harus kuat mengangkat Barongan seberat 50 kilogram. Sudah? Jika masih belum percaya, coba datang langsung dan simak pementasan Reog Ponorogo di Ponorogo. Harus di Ponorogo, bukan di tempat lain, karena di kota inilah, "rasa original" dari pertunjukan Reog Ponorogo akan benar-benar terasa. Bagaimana rasa takjub mendatangimu ketika rombongan Jathilan berjalan dan menari beriringan melewatimu, berperan sebagai pertunjukan pembuka dari rangkaian pementasan Reog. Belum selesai rasa takjubmu, mendadak bulu kudukmu meremang ketika rombongan pria berpakaian hitam dengan dandanan yang menakutkan lewat sambil menari dan mempertontonkan gerakan silat di depanmu. Itu Warok, tokoh yang digambarkan memiliki tekad suci dan kesetiaan tanpa batas, Warok adalah gambaran dari sifat asli penduduk Ponorogo.

read more

Kapten Laut Merah meratapi terbelahnya laut yang dilewati oleh kapal besar milik Nahkoda Pantai Selatan. Kapten ingat, dahulu dia dan ribuan anak buahnya susah payah membuat hamparan tanah lapang itu menjadi laut. Jangankan melihat laut itu terbelah, ada orang yang meludah sembarangan saja bisa dihukum gantung oleh sang kapten.

Tapi apa boleh buat? Nahkoda Pantai Selatan adalah sahabat lama Kapten Laut Merah. Dari kecil mereka sama-sama hidup di sebuah desa di pinggir pulau. Sambil berjalan menyusuri pantai, mereka memiliki mimpi menjadi pelaut handal yang merajai samudra. Namun jaman berubah, bumi kini rusak. Tidak ada lagi laut untuk berlayar. Kira-kira 15 tahun yang lalu, matahari seperti murka, memancarkan sinar panasnya yang terlalu ke muka bumi. Bencana kekeringan terjadi, hanya yang kuat bisa selamat. Yang lemah? Mati. Tentu saja. Merasa mimpi mereka berdua lenyap, baik Kapten Laut Merah dan Nahkoda Pantai Selatan lemas. Keputusan untuk berpisah demi membuat laut baru sudah bulat. Mereka berdua sepakat untuk sama-sama berpencar demi menciptakan kembali samudra-samudra yang ada dalam mimpi mereka.

read more

Terdengar suara tertawa dari balik sebuah kamar. Suara seorang lelaki yang tampak bahagia sore itu. Sore yang dingin karena hujan yang turun semenjak siang tadi. Tidak ada segelas teh hangat atau pun kopi dalam cangkir, cukup cahaya lampu redup yang membuat suasana menjadi hangat dan intim.

"Iya! Terus ayah sama mama langsung aja gitu ikutan lari ngejar mereka. Kan konyol jadinya." Rudi tertawa sembari bercerita sambil matanya yang tak lepas memandangi sosok yang ada di depannya.

"Emang konyol kok adik kamu tuh. Udah tau ayah tuh orangnya emosian, kok malah bikin Ayah emosian. Akhirnya dikejar-kejar deh. Rasain!" Dinda menambahkan cerita. Tawa tidak berhenti keluar dari bibirnya, pun bibir Rudi.

read more

Dari puncak sebuah gedung yang tidak terlalu tinggi, seorang lelaki duduk dengan tenang. Mulutnya bergumam, seperti merapal sesuatu. Bukan, itu bukan sebuah rapalan. Dia membuat dirinya seakan pembawa acara dari aksi besar yang akan terjadi siang ini. Layaknya seorang pembawa acara, dia berusaha agar para penonton ilusinya dapat mengikuti acara dengan baik. Tentunya dengan cerita yang ia sampaikan.

"Ini adalah hari pembalasan. Hari puncak, di mana kita semua akan melihat kota ini menjadi puing, menjadi abu. Dengar hadirin sekalian, pertunjukan yang sebentar lagi anda saksikan tidak akan tertunda, disiarkan langsung di depan mata anda. Sekarang coba kita arahkan pandangan mata kita ke ujung sana. Coba lihat. Sebuah plaza yang sebentar lagi akan hancur menjadi abu. Dan... Sekarang, mari tengok ke arah sana. Ya, anda sekarang melihat deretan kantor-kantor pemerintahan. Nanti, dalam hitungan menit semua itu akan rata dengan tanah. Juga kendaraan yang melintas di jalan utama ini, sebentar lagi akan pecah berantakan. Sebentar lagi, semua akan dimulai tepat ketika arak-arakan konvoi melewati jalur utama."

read more