Berawal dari sekedar ketemu di persimpangan jalan, aku mulai mengenal, atau lebih tepat menyadari dirinya. Cuma senyum, itulah yang mengawali awal perjumpaan kami. Sekali, dua kali, akhirnya ku mulai terbiasa melihat senyumnya. Mulai merindukan jika sekali saja tidak melihat senyum manisnya. Apa yang spesial?, ga ada. Gimana mau spesial kalo mengenalnya saja aku tidak. Merindukannya?, iya itu sebutan yang aneh, secara ngobrol pun ga pernah, statusnya aku tak tahu, asalnya dari planet mana juga aku ga pernah bisa ngerti. Bahasa kami cuma satu, langkah akrab kami hanya satu. Lewat senyuman.

Tak terasa sudah sebulan sejak pertemuan itu, kami saling menukar senyum satu sama lain. Seorang Larry King pernah bilang bahwa senyum itu bahasa universal yang berlaku di bagian bumi manapun. Dengan seulas senyum, kau bisa menutupi amarah orang. Begitu kata si ahli komunikasi publik. Iya, dan aku pun menyetujuinya. Hanya dengan senyuman, aku bisa dengan mudah mengenalnya, merasakan kenyamanan dari senyum yang di tebarnya. Ada unsur magis yang tak bisa ku ungkapkan saat ia tersenyum. Lucu.

Kalau disuruh memilih, aku lebih senang bisa mengenalnya. Tapi cukup dengan bertukar senyum saja sudah membuatku bahagia. Girang. Lama-lama timbul satu rasa yang tak pernah ku minta. Datang perasaan yang menderu di hatiku. Perasaan sayangkah?, mungkin. Cinta?, sepertinya belum. Tapi bakalan iya kalo dia tak pernah berhenti mengumbar senyumnya kepadaku.

Hari-hari berlalu sampai akhirnya aku menyadari kalo sudah seminggu ini si pemilik senyum itu tak pernah nampak. Kemanakah dia?. Entah. Mau mencari, tapi ku bingung. Namanya saja aku tak kenal, lalu gimana mencari alamat rumahnya?. Dan saat itulah perasaan kangen ku menang. Karena kangen, akhirnya aku memaksakan diri mencari tau dirinya. Modalku ya hanya mulut untuk bertanya dan tekad untuk menemukannya. Enak saja!, dia sudah membuat aku sayang, lalu sekarang pergi tanpa pamit?. Benar aku sayang. Dan benar sekali, aku rindu. Tapi kemana mencarinya?. Oh iya, kapan hari aku pernah melihatnya keluar dari warung kopi dekat persimpangan itu, mungkin mereka tau.

Dapat!. Si lelaki pencuri hatiku ini bernama Andrei. Kata si ibu warung, dia memang sudah seminggu ga pernah keliatan. Entah kemana. Alamatnya pun sudah di tangan. Asik!.

Saat tiba di alamat yang ku pegang, ku sadari Andrei ini bukanlah orang mampu. Buktinya lingkungan menuju rumahnya pun sangat kumuh. Tapi itu tak memupus tekadku. Aku ingin mengenal orang ini. Ah, rasanya ga cuma mengenal deh, aku juga ingin berkasih dengannya. Ke-PD-an?, cuek. Daripada aku galau??.

Oke, sudah tiba di depan rumahnya. Ku parkir mobilku dengan mantap. Tapi, ada acara apa ini?, kok banyak orang berpeci yang berkumpul di rumahnya. Selametan kah?, rasanya bukan. Wajah mereka penuh muram dan suram. Ku tanya seorang anak kecil yang melintas di depanku, "De, kenal Andrei?", tapi yang kudapat malah lengosan anak itu sambil berlalu kedalam rumah. Tak lama, seorang wanita paruh baya bermata sembab menyapaku. "Ada perlu apa mbak?". "Betul ini rumah Andrei?." Tiba-tiba air muka si ibu berubah. Menahan tangis. "Ayo masuk kedalam..", ajaknya.

"Jadi kamu ya wanita yang selalu Andrei ceritakan belakangan ini?", si ibu memulai obrolan. "Maksud ibu?"
"Andrei selalu bercerita tentang wanita yang sering di temuinya di persimpangan jalan, Andrei bilang, wanita itu manis. Andrei juga bilang, meskipun tak saling kenal, tapi hanya bertukar senyum pun sudah membuat semangat hidupnya bertambah. Karena itulah yang menjadi alasannya bangun di pagi hari dan melawan sakitnya."
"Kalo boleh tau, Andrei sakit apa bu?"
"Kanker otak, stadium 3. Dokter pernah bilang kalo umurnya tak lama lagi, seharusnya ia dirawat, tapi karena kami, orang tuanya tak mampu, jadilah dia hanya di rumah saja. Menahan sakit. Tapi semenjak bertemu dirimu, semangat hidupnya ada lagi. Dan mungkin berpengaruh pada umurnya. Akhirnya ia dapat bertahan agak lama." Tutur si ibu, terisak.
"Agak lama?, maksudnya?. Sekarang Andrei kemana bu?, saya mau ketemu.." Rena menyadari, tak ada harapan dalam pertanyaanya.
"Tiga hari yang lalu, tiba-tiba kesehatannya menurun. Dia mulai keluar darah dari hidung, terasa sakit yang sangat di kepalanya, begitu katanya. Kami hanya bisa berdoa. Hanya itu yang bisa kami lakukan. Sampai akhirnya, kemarin, dia tertidur. Pulas sekali, tak ada lagi rintihan sakit darinya. Tak ada lagi tangisan pilu setiap malam karena harus menahan sakit kepala yang sangat. Dan kami akhirnya sadar, Andrei sudah tiada. Dalam matinya, dia tersenyum."

Dalam matinya, dia tersenyum...

Badan Rena bergetar. Dia tak sanggup dengan kenyataan ini. Belum. Yang ada di bayangannya tadi adalah mereka bertemu, saling kenal, ngobrol lalu memadu kasih, syukur-syukur bisa menikah. Tapi kenyataanya saat ini, lelaki penebar senyum itu tiada. Meninggal.

"Sehari menjelang ia pergi," Lanjut si ibu, "Andrei sempat bilang bahwa masa tiga bulan ini adalah saat yang paling membahagiakan dalam hidupnya. Dimana dia bisa kembali semangat menghadapi hari, hanya tuk bisa melihat senyummu. Kami pun bingung, tapi itulah. Akhirnya Andrei bisa senang dalam saat terakhir hidupnya."
"Dan ia bilang menitipkan pesan, jika suatu saat wanita itu datang, katakanlah bahwa aku mencintainya bu, begitu pesannya." Tutup si ibu.

Rena tertunduk lesu. Andai saja dia bisa lebih cepat mencari, tentu mereka akan bertemu. Bertemu walaupun di tunggui oleh malaikat maut. Paling tidak mereka berbicara. Berbicara untuk pertama dan terakhir. Tapi Rena telat. Kali ini, cinta harus mengalah pada sang maut. Maut yang telah mengintai, berjalan perlahan untuk di satu saat menghantam.

"Aku pun mencintainya bu..", suara Rena lirih.
dari kisah nyata yang dialami sama temen saya sendiri.

SELESAI

2 Responses so far.

  1. Aaarrggghhh....terkejut!!!
    ceritanya,apik bgd!!!
    Tak salah aku ngefans ama tulisannya abang Ray Rahendra...
    4 thumbs!!!

Leave a Reply