"Han.. Angkat teleponnya dong, Han.. Angkat.."


Suara nada sambung yang entah sudah keberapa kali kembali terdengar. Dengan tangan yang gemetar, Anya mendekatkan telepon genggamnya ke telinga sambil berdoa penuh harap agar orang yang diteleponnya mengangkat.

"Tolong, Han. Angkat.. Inget janjimu, Han.. Inget.."

Sambil meringis, Anya terus saja berbicara diantara air mata dan isak tangisnya. Seperti memeluk, telepon genggamnya begitu erat berada di tangannya.

"Halo.." Suara seorang lelaki mengangkat telepon. Meskipun pelan, terdengar suara lega dari mulut Anya.

"Jehan, ini aku, Anya. Kamu apa kabarnya? Jehan, kamu masih inget janji kamu ke aku dulu, kan?" Anya mencoba menahan isak tangisnya, namun gagal. Suaranya makin terdengar lirih.

"Anya?! Anya! Kamu apa kabar? Lagi di mana kamu? Janji apa nih maksudnya?"

"Han, kamu masa lupa? Kamu pernah janji sama aku, Han. Kamu punya janji. Dan sekarang janjinya kamu aku tagih. Bisa, Han? Bisa? Jangan bilang kalo kamu lupa, Han. Tolong.." Anya berbicara penuh harap. Air mata masih terus mengalir. Kalut.

"Ini sebenernya ada apa sih, Nya? Janji yang mana? Kamu kenapa? Coba cerita pelan-pelan. Sudah hampir 5 tahun semenjak kita putus hubungan dan tiba-tiba kamu begini? Ada apa, Nya?" Jehan berusaha mengurangi kebingungannya dengan menyulut rokok. Namun gagal.

"Han, coba inget, Sabtu, 13 Februari 5 tahun yang lalu. Di tempat biasa. Kamu pernah bilang kalo apapun yang terjadi sama aku, kamu bakalan terus nungguin aku. Kamu akan selalu jadi tempatku pulang. Jadi rumahku. Gak peduli apa yang terjadi sama aku, kamu akan selalu ada dan nungguin aku. Kamu inget, Han?"

Jehan mencoba mengingat. Sebenarnya, dia ingat. Namun kini, dia berusaha semakin dalam mengingat kembali saat itu. Sabtu, 13 Februari. Lima tahun yang lalu.

****

Anya dengan manjanya memeluk Jehan dari belakang dan dibalas Jehan dengan menggenggam tangannya untuk kemudian mereka berdua memandangi bukit yang terkena sinaran matahari senja. Hampir setiap minggu, mereka selalu datang ke tempat ini. Sebuah tempat wisata yang berada di puncak bukit. Tempat wisata yang juga menyediakan penginapan yang selalu mereka gunakan untuk sekedar bertemu, melepas rindu. Meski tak jarang, melepas nafsu. Jehan menggenggam jemari Anya erat. Sangat erat.

"Yang, kamu sayang gak sama aku?" tanya Anya. Manja.

"Sayanglah. Kok pake nanya?" balas Jehan.

"Kamu... Cinta gak sama aku?"

"Ya cinta dong. Kenapa sih emang?" Jehan berbalik dan mencium pipi Anya.

"Kalo misalnya nih. Misalnya, aku tiba-tiba pergi tanpa kabar. Sama sekali gak ada kabar. Entah karena dijodohin sama orangtuaku, entah karena suatu hal, kamu mau nungguin aku?" nada bicara Anya mulai serius.

"Kok ngomongnya gitu sih, Nya? Kamu kenapa?" Jehan memandang Anya. Tajam.

"Kamu jawab aja deh, Yang."

"Enggak. Kasih tau dulu, kenapa?" desak Jehan.

"Eng... Kamu kan tau kalo udah lama hubungan kita gak disetujuin sama mama papaku. Aku kadang suka ngebayangin aja kalo tiba-tiba orangtuaku ngejodohin aku sama siapa gitu. Atau aku bakal dipindahin kemana, pisah sama kamu. Aku sih gak mau itu semua terjadi, tapi kalo sampe kejadian, kamu mau nungguin aku?" suara Anya melemah. Bulir air mata mengambang di sudut matanya.

Jehan teringat saat-saat dia diminta untuk menjauhi Anya oleh orangtuanya. Dia juga mengingat ancaman kedua orangtua Anya yang akan menjauhkan putrinya dari Jehan. Semuanya berputar di kepala Jehan saat itu. Tentu, dia mengerti kalau hubungan yang dia jalani dengan Anya adalah hubungan yang penuh resiko. Akan ada konsekuensi dari keinginan mereka untuk bersama. Dan cepat atau lambat, hal itu pasti terjadi.

Jauh hari sebelum datang saat seperti ini, Jehan sudah menguatkan hati dan menetapkan jawabannya. Dia berjanji dengan dirinya sendiri untuk menunggu Anya sampai kapan pun. Sampai nanti, entah kapan. Dia akan selalu menunggu, tidak peduli Anya seperti apa yang akan dia temui nanti. Dan sepertinya, janji itu akan dia sampaikan langsung ke Anya sore itu.

"Sayang, aku bakal nungguin kamu, kok. Gak peduli apa pun yang terjadi sama kamu. Gak peduli berapa lama kamu pergi, aku akan selalu tunggu kamu. Selalu." jawab Jehan sembari mengecup lembut bibir Anya.

"Janji?" tanya Anya dengan suara sengau.

"Kapan sih aku pernah ingkar janji sama kamu? Aku janji." Jehan sibuk mengeringkan air mata di pipi Anya dengan sapu tangan.

"Denger yah. Apa pun yang terjadi sama kamu, kalo nanti kamu pengen balik sama aku, kamu cukup hubungi aku. Kamu tau dimana bisa menemui aku. Saat itu terjadi, aku akan selalu nunggu kamu. Akan selalu ada buat kamu."

Anya kemudian memeluk Jehan erat-erat. Merasakan denyut jantung lelaki yang dia cintai, membuat nyaman hidungnya dengan parfum lelaki itu. Dia tau, saat itu akan datang. Perpisahan.

*****

"Han.. Jehan.. Kamu masih di situ?"

Suara Anya memecah lamunan Jehan. Pikirannya kembali ke saat ini. Di mana di ujung telepon sana, ada seorang wanita yang pernah sangat ia cintai menagih janji kepadanya.

"I... Iya, Nya. Aku masih di sini."

"Aku kabur, Han. Aku lari dari keluargaku. Cuma buat kamu. Biar kita bisa sama-sama lagi. Aku pengen sama-sama kamu, Han. Selamanya." tangisan Anya kembali pecah.

"Maksud kamu? Kamu ninggalin suami kamu, iya? Terus gimana sama dia? Gimana sama anak kamu?

"Aku gak punya anak, Han. Gak mau punya anak dari dia." potong Anya cepat.

"Oke. Kamu gak punya anak. Tapi kamu punya suami. Apa yang bakal dia lakuin nanti kalo tau istrinya begini?"

"Peduli setan sama apa yang bakal dia lakuin. Aku gak peduli, Han. Yang aku peduli dan yang aku tau, aku pengen sama-sama kamu."

"Setelah 5 tahun gak ada kabar? Setelah 5 tahun aku nunggu kabar dari kamu tapi gak ada satu pun? Setelah ini semua, bahkan menikah pun kamu gak bilang? Bisa ya, kamu!" suara Jehan meninggi.

"Jehan, jangan teriak. Aku takut..." Anya meringis.

Lagi-lagi, kenangan Jehan melayang jauh disaat mereka masih bersama, lima tahun lalu. Dalam sebuah kejadian yang tidak disengaja, Jehan membentak Anya. Langsung saja Anya menangis dan marah saat itu. Malam harinya, Anya baru bercerita jika ia tidak terbiasa dengan suara keras, terutama bentakan. Apalagi itu datangnya dari Jehan, orang yang paling dicintainya. Semenjak saat itu, Jehan berjanji untuk tidak lagi berbicara dengan suara keras kepada Anya.

Semua tentang janji. Jehan terlalu banyak berjanji pada Anya, yang, meski semuanya diusahakan untuk terwujudkan namun tetap menyisakan ruang untuk dipermasalahkan. Jehan berpikir jika selama ini, selama mereka berpacaran, dirinya terlalu memanjakan Anya dalam segala hal. Namun di satu sisi, hanya itu cara dia untuk terus menunjukkan cintanya yang banyak kepada Anya.

"Iya, maaf. Aku gak sengaja teriak." Jehan menyalakan rokok kedua. "Sekarang kasih tau, kenapa kamu baru hadir sekarang? Kemana aja selama ini?"

"Selama ini aku gak bisa menghubungi kamu, Han. Aku gak tega untuk menceritakan semuanya ke kamu. Jadi aku memilih untuk diam dan perlahan menghilang dari kehidupanmu. Aku gak mau bikin kamu sakit." Anya masih terisak.

"Terus menurut kamu, dengan kamu hadir lagi seperti ini gak bikin aku sakit? Sakit, Nya!"

"Jehan, udahan teriaknya! Aku benci!!"

"Kalo kamu gak mau terus-terusan ngedenger aku teriak, kasih tau alasan paling logis kenapa aku harus penuhi janjiku saat ini? Kenapa?"

"Karena kita saling cinta. Aku cinta kamu, Han. Dan aku tau, kamu juga cinta sama aku."

"Kamu bilang cinta adalah alasan logis? Terus apa kabar sama kamu yang menghilang selama lima tahun?"

"Iya, aku salah! Aku salah dan aku minta maaf! Maafin aku, Han!"

"Sekarang gini deh, Nya. Kenapa kamu gak pulang aja? Kenapa kamu gak selesain ini semua dan kamu pulang? Hidup normal sama keluarga kecil kamu. Udahlah.."

"Kamu tega nyuruh aku pulang? Tega ngomong kayak gitu setelah perjuangan yang aku lakuin hari ini untuk bisa hubungin kamu? Kamu tega? Kamu bakalan nyesel ngomong kayak gitu, Han!"

"Kasih tau aku, kamu di mana sekarang? Kasih tau!"

"Kamu beneran mau tau? Sungguh? Aku ditempat biasa. Tempat kita biasa ketemu."

"Ya udah, kamu tunggu di situ. Aku akan jemput kamu. Jangan kemana-mana!" pinta Jehan.

"Ngapain kamu mau kesini? Mau jemput aku terus bawa aku pulang ke orangtuaku, iya? Gitu? Gak usah deh. Gak perlu."

"Anya, dengerin aku. Kamu di mana? Kasih tau dengan lengkap. Tolong."
"Aku ditempat biasa. Tempat kita nginep, tempat kita biasa berdua." suara Anya bergetar. Entah menahan emosi, entah menahan tangis.

"Puncak? Ya udah, aku ke sana."

"Aku di jurangnya." balas Anya.

Jawaban dari Anya seakan membuat dunia Jehan berhenti berputar sesaat. Semuanya seakan berlangsung dengan sangat lambat. Jauh di dalam kepalanya, dia tidak pernah memikirkan jawaban itu yang akan keluar dari mulut Anya. Jawaban nekat yang hanya dilakukan oleh orang bodoh, atau putus asa.

"Anya! Kamu ngapain disitu? Cepet turun dan cari tempat aman. Aku bakal kesana."

"Gak. Aku gak mau."

"Tolong! Aku minta sama kamu. Tolong."

"Denger ya Jehan, kalo niat kamu kesini cuma biar aku gak terjun dan buat ngembaliin aku ke orangtuaku, kamu salah. Niat kamu salah banget. Karena aku bakalan terjun saat ini juga!"

Keringat dingin membasahi dahi Jehan. Rokok kini sudah tidak lagi berguna untuk menghilangkan apa yang dirasakannya.

"Anya!"

"Bilang dulu sama aku, kamu masih cinta sama aku atau enggak?"

Hening..

"Jehan!! Bilang dulu, kamu masih cinta sama aku atau enggak?"

"Iya, aku cinta kamu. Tapi gak gini caranya, Anya!"

"Gak gini apa? Apa Jehan?!"

"Kita bisa omongin ini baik-baik. Tolong, jangan sebodoh ini! Tolong!"

"Oh iya, aku bodoh sekarang. Bodoh karena kamu. Karena besarnya cintaku ke kamu!"

"Anya, dengerin aku. Tolong."

"Udah cukup ya aku dengerin kamu. Pengorbananku hari ini percuma ternyata. Kamu gak bener-bener menginginkan aku. Selamat tinggal, Jehan!"

"Anyaa! Anyaaaaa!!!"

Dering telepon membangunkan Jehan dari tidur siangnya. Dari nomor yang tak dikenalnya.

"Halo.."

"Jehan? Jehan apa kabarnya?" sebuah suara manis nan lembut terdengar dari speaker telepon genggam Jehan.

"Anya?"

"Iya, ini aku. Kamu hari ini sibuk?"

"Eng.. Enggak. Kenapa?"

"Hari ini ada aqiqah anakku. Kamu bisa dateng, kan?"

"Oh.. Aqiqah, ya? Iya. Bisa. Jam berapa?" Jehan kikuk. Pikirannya dipenuhi dengan banyak pertanyaan dan kenyataan yang menyiksa.

"Malem, kok. Dateng, ya!" suara Anya yang renyah dan ceria tetap tidak bisa menghapus rasa kikuk Jehan.

"Iya."

"Oke kalo gitu. Bye ~"

Telepon ditutup. Jehan bangkit dan berjalan menuju kamar mandi. Semenjak lima tahun lalu, Jehan tidak pernah keluar rumah. Jehan tidak pernah mengurus dirinya. Jehan tidak pernah memikirkan dunia luar. Yang dia pikirkan adalah satu; Anya. Anya yang dia harapkan akan kembali kepadanya. Anya yang dia harapkan akan pulang ke pelukannya. Namun semakin hari, harapannya semakin jauh. Buram tak menunjukkan kejelasan.

Jehan berjalan ke dapur. Diambilnya pisau dapur dengan ukuran yang besar. Pisau daging. Matanya nyalang, seperti tanpa nyawa. Bengis, menunjukkan kekejaman. Dengan sekali ayunan, pisau itu menghunus perutnya, yang dilanjutkan dengan hunusan berikutnya. Terus begitu hingga yang terlihat hanyalah merah. Darah.

Setelah lima tahun, Jehan menyerah. Kenyataan terlalu kejam untuknya.

4 Responses so far.

  1. leniwiw says:

    Ampun deh.. mati karna cinta T.T

  2. Unknown says:

    ya ampuun T.T hahahaha (y) keren keren

  3. Anjis, ini endingnya unpredictable walu ceritanya udah terlalu mainstream. Alurnya santai. Keren bray.

Leave a Reply