Kira-kira minggu kemaren, aku ngalamin moment manja-manjaan sama nenek. Udah lama banget ga ngerasain moment ini lagi, berasa kangen banget sama beliau. Sambil tiduran di pangkuannya, nene mulai bercerita. Banyak hal yang biasanya nene ceritakan. Mulai dari masa mudanya, awal ketemu sama kake, sampe perjumpaannya sama presiden pertama Indonesia, bung Karno. Tapi malam itu, nene sepertinya sedang bersemangat menceritakan masa kecilku. Lebih tepatnya saat-saat ketika aku baru saja merasakan dunia ini.

Nene mulai bercerita. Sebagai seorang bayi, aku terlihat rapuh. Dengan berat yang sangat kurang dari cukup. Ayah, nene, kake dan ibu sendiri sangat kaget saat pertama kali saya keluar dari rahim. Tanpa tangisan, tanpa gerakan, juga membiru. Mulai terdengar ibu yang menangis. Meraung lebih tepatnya. Ibu mulai kalut, karna berpikir kelangsungan hidup putra pertamanya hanya sesaat. Numpang lahir doang. Ayah pun hanya bisa terdiam. Tubuhnya mulai bergetar, air matanya mulai mengalir, tidak deras. Tapi cukup untuk membuat siapapun yang malam itu ada di dalam ruangan dingin khas Rumah Sakit ikut bersedih. Nene dan kake pasrah, tak ada kata yang keluar dari bibirnya. Ini sudah menjadi suratanNya, kemauanNya. Mau di apain lagi??.

Diluar, keadaan tak jauh lebih baik. Om dan tanteku yang juga menunggu, ikut larut ketika mendengar kabar tersebut. Meskipun kejadian ini hanya berlangsung tak lebih dari lima menit, tapi terasa berjam-jam, begitu kata nene. Dokter pun langsung melakukan tindakan penyelamatan. Masih ada kesempatan!, begitu pikir mereka. Aku langsung di ambil dan di perlakukan sedemikian rupa oleh sekumpulan dokter itu, hanya demi sebuah detakan jantung pertanda kehidupan. Ibu dan ayah membuang muka, miris melihat sesosok bayi kaku yang di ombang-ambing demi memastikan status nyawanya. Nene meringis miris, kake terlihat tabah. Sayup-sayup terdengar alunan ayat Al-Quran diluar yang di gemakan oleh tante dan om. Masih ada kesempatan, mungkin kalimat itu yang terus membisik di telinga mereka yang hadir pada malam itu.

Entah sudah berapa macem cara dicoba, sudah berapa tangan yang memegangku, akhirnya bayi itu, aku, menunjukkan denyut-denyut kehidupan. Diawali dengan hembusan nafas yang memburu lalu disusul dengan tangis yang menggema. "Berisik!", begitu kata nene. Iya, akhirnya aku, bayi itu, di ijinkan juga untuk merasakan hidup di dunia gila ini. Langsung saja ibu menangis. Kali ini tangis bahagia penuh syukur. Ayah langsung menggendongku, melantunkan adzan di telingaku, nene melihat uraian air matanya yang jatuh di kepalaku. Sampai pada bagian ini, sambil mendengarkan, aku menangis. Ternyata sosok yang selama ini tak pernahku lihat, begitu bangga menerima kehadiranku di dunia ini. Iya, ayah menangis bahagia. Iya, ayah yang mengadzani kuping ini agar saku selalu ingat sang Khalik dalam keadaan apapun. ayah yang melantunkan seruan adzan ke telinga ini dengan pengharapan seorang anak yang berbakti dan beriman nantinya. Itu semua di lakukan ayah, sosok yang tak pernah aku lihat.

Keadaan begitu haru saat itu, begitu kata nene. Semua orang menangis. Menurut dokter, kemungkinan aku untuk hidup saat itu sangat kecil sekali, tapi dengan doa dan kasih sayang semua orang, mungkin Tuhan tergerak tuk memberi nafas hidup ke bayi lemah itu. Ayah mendekatkanku ke ibu, lalu mereka memandangku penuh arti. Di pegangnya hidung kecil bayi itu, disentuhnya tangan lembut nan rapuh yang tak berdaya, di ciuminya kening ini dengan ciuman lembut dan sayang. Mereka tertawa dalam haru. Bahagia.

Tak lama, tim dokter sudah kembali menggendongku, harus masuk ke inkubator kata nene, biar keadaannya stabil. Seakan tak puas, ibu enggan melepasku, ibu masih ingin sekedar lebih lama lagi memeluk aku. Tapi ibu juga mengerti keadaanku kala itu. Rapuh dan riskan. Tepat sebelum dokter memasukkanku ke inkubator, sekali lagi ayah menggendongku dan seperti membisikkan sesuatu. "Ga tau tuh bisikin apaan", jelas nene ketika aku tanya.

Lalu aku mengambil selembar foto yang ku selipkan di balik tumpukkan pakaian. "Kalo yang ini foto dimana ne??", tanyaku pada nene. "Itu foto pas elu baru di masukin ke inkubator, liat belakangnya deh, ada tanggal lahir lu. Bapak lu tu yang nulis". Tertulis 13 Agustus 1989 jam 9 malam.

Ayah sangat sayang padaku, nene mulai bercerita lagi. Hampir setiap hari ayah datang dan menjagaku. Takut-takut kalau keadaanku kembali drop. Hanya dengan melihatku di balik kaca saja sudah bisa membuat ayah tersenyum bangga seharian. Bayi yang hampir mati itu ternyata kuat ya!!, anak saya, Ray Rahendra. Itu kalimat yang hampir setiap hari ayah katakan kepada semua orang.

***

Dari kecil, aku selalu mendengar sebuah suara yang datang entah darimana. Suara yang selalu hadir ketika aku jatuh, aku sakit, aku terluka, atau aku putus asa. Suara yang begitu menguatkan. Suara yang hanya terdengar di telinga kananku..

Jadilah lelaki yang kuat, yang siap dengan segala cobaan. Buanglah jauh-jauh rasa takutmu, karna itu hanya akan membunuhmu. Kau diberi kesempatan kedua untuk hidup karna Tuhan sayang padamu. Jangan sia-siakan kesempatan yang Tuhan beri. Jadilah teduh dibalik matahari yang mengancam. Jadilah senyuman, dibalik kesuraman dunia. Karna untuk itulah hidupmu, anakku..

Ayah, apakah itu bisikanmu??


SELESAI

11 Responses so far.

  1. arysakty says:

    Wow.. keren Bro... Ya keren perjalanannya, keren tulisannya..

  2. Makasih!!yah msh bnyak perbaikan sepertinya.. #merendah.. :D

  3. arysakty says:

    kalo merendah, berarti ga rendah :)... Semangat cari juri yang bener2 ngasi masukan membangun untuk tulisan kitaaaa

  4. Ambigu sepertinya.. :) Yup,harus dapet juri yang bener" beneran ini!!,kita bisaaaaaaaaaaa!!

  5. Makasih Nhazt!!masih butuh perbaikan kok.. :)

  6. hehehe...saya baru baca!!
    dan well done,
    saLam buat nene',assalamu alaikum

  7. thankz!!!well done dsini maksudny apa ni??ambigu... :P
    Wa'alaikumsalam..

  8. need-tha says:

    suka sama yang ini.. :)

  9. Anonim says:

    bagus & menyentuh beud kisahnya ray.... moga bisa menjdi orng yg dpt dbanggakan terutama bwt keluarga...

  10. Anonim says:

    sumpah, pengen nangis baca ini, mas.,..
    (geghe)

Leave a Reply