Aku masih ingat saat-saat dimana bibir kita bersentuhan. Ciuman, begitu mereka bilang.
Tapi entah kenapa, kau lebih senang menyebutnya dengan "bercumbu". Lucu, iya!. Itu kesan pertama yang kulihat saat menatapmu dari kejauhan. Kelucuan yang menarik, sampai hatiku tergetar untuk menyapamu, lalu memikirkanmu, memilikimu, sampai akhirnya menyentuhmu.

Aku pun masih ingat, di taman ini, kau menerima seruan kasihku. Tempat yang selalu berkesan. Terlalu malah. Karena disini pula kau menghancurkan seruan itu. Aku tak peduli. Sekuat hatimu membuangku, sekeras itu pun cintaku semakin besar.

Sebutlah aku egois, atau apa pun yang mau kau bilang. Tapi harus kau tahu, hati ini tak pernah sedikit pun ingkar akan janji yang telah terukir. Terukir di dalam hati, mengalun sebagai munajat di malam-malamku. Janjiku ini janji putih, cintaku ini cinta putih. Tapi kau seakan tak mendengar, menggubris pun enggan.

Ingatkah kau saat dimana kau tertidur di pangkuanku, lalu kita membicarakan omong kosong?, iya, omong kosong soal pernikahan dan masa depan. Dimana kau menatapku mesra, ku memandangmu harap. Lalu kau tertawa dan menciumku sambil membisikkan kata cinta. Cuihh..

Dan kini, aku hanya bisa memandang namamu, yang akhirnya abadi disini, ditemani tanah dan binatang malam. Memiliki ketiadaanmu dalam penyesalanku. Menyesal karena kau lebih memilih pergi daripada berdua denganku.

Tapi akhirnya aku tertawa. Kau kini milikku satu. Aku memilikimu, dan kau?, tak ada pilihan. Kau harus memilihku. HARUS. Biarpun hanya pusaramu yang ku peluk, tapi ku tahu. Tidak lain tidak bukan, kau hanya milikku.

Sebut aku posesif atau malah gila. Apa peduliku?. Selama memilikimu ku bahagia, peduli setan dengan mereka. Kita abadi. Aku dan kamu, tertulis dalam puisi cinta, bersanding dengan para mulia cinta.

Iya, aku dan kamu. Juga pusara ini..


SELESAI

Leave a Reply