Kami tinggal di daerah peperangan, dimana suara desingan peluru menjadi keseharian dan suara bom-bom yang dijatuhkan dari atas langit menjadi pengingat untuk kami. Iya, pengingat akan kematian yang mengintai. Mengintai perlahan, mendekati mereka yang lengah,atau kurang beruntung.

Bukan sekali, dua kali kami menemui mayat kaku bergelimpangan di tiap-tiap sudut jalan. Baik yang masih lengkap, atau yang tinggal separuh. baik yang masih normal, atau kepalanya sudah terpisah. Dahulu, itu terlihat sangat menakutkan dan juga membuat mual. Namun kini, pemandangan itu menjadi biasa. Tidak ada yang istimewa. Pemandangan semacam itu akhirnya membuat kami sadar dan yakin, bahwa yang hidup pasti akan mati. Cepat atau lambat, siap atau tidak. Kata-kata mati yang dahulu selalu menakutkan untukku, kini menjadi kata yang tidak ada aji. Biasa.



Kira-kira minggu lalu, desa sebelah rata dengan tanah. Ini akibat serangan yang dilakukan entah oleh negara mana. Serangan dari darat dan udara yang membuat langit menjadi abu-abu, angin yang lewat pun menjadi panas. Kiamat, begitu kata beberapa orang yang berhasil selamat. Selamat, namun tidak utuh. Ada yang kakinya hilang, ada yang matanya hancur, ada juga yang kehilangan tangan dan kaki. Semua terjadi hanya dalam hitungan menit.

Sore itu, kami sedang bermain-main di tanah lapang. Kami, aku dan adikku. Bermain di tanah lapang yang sebenarnya tidak cukup aman. Pesawat tempur beberapa kali melintas diatas kami. Desingan suaranya cukup membuat kami tuli sesaat. Dan sebenarnya pun, ibu melarang kami bermain di sini. Banyak ranjau dan jebakan katanya. Rasanya ingin menuruti, namun, aku juga butuh hiburan. Begitu pun adik. Maka kami bermain-main di sini hingga sore.

Aku sudah merasa lelah ketika akhirnya adik mengajak untuk pulang. Sembari merangkulnya, kami pulang melewati jalan besar beraspal yang sudah berlubang di berbagai tempat. Selesai melewati jalan beraspal, kini kami harus melewati rawa berlumpur yang penuh duri dan kotoran. Dari dulu pun sudah begitu keadaan rawa tersebut, dan kini diperparah dengan kabar kalau di rawa tersebut telah ditanam beberapa ranjau. Dulu, aku takut. Sekarang tidak. Seperti yang sudah aku bilang, karena telah terbiasa, kami menjadi tidak takut dengan hal-hal demikian.

Perjalanan belum selesai. Setelah melewati rawa, kami harus melewati satu rintangan lagi sebelum benar-benar sampai rumah. Melewati hutan. Ajakan adik memecah sunyi di dalam hutan.

"Kak, lari yuk! yang sampai rumah lebih dulu jadi pemenang."

"Hmm.. yang menang dapat apa?" aku bertanya acuh.

"Uhm.. Dipijitin sama yang kalah. Setuju?"

Belum sempat aku menjawabnya, adik sudah berlari. Aku pun mengejarnya. Kini kami berada dalam kecepatan yang sama. Sama-sama tidak mau kalah, larinya semakin kencang. Aku juga. Namun tidak sampai satu meter, badan adik meledak. Isi perutnya terburai, sekejap, pandangan di depanku berwarna merah. Suara ledakan terdengar menggema, menimbulkan bunyi "tiiiiiiit" yang panjang di kuping.

Adik menginjak ranjau.

Langkahku terhenti. Sial. AKu harus bilang apa ke ibu? Bilang kalau adik kena ranjau liar karena kami lomba lari? Karena pada akhirnya aku tidak benar-benar bisa menjaganya?

Aku berjalan gontai menuju rumah sembari mencari alasan. Di genggamanku, ada tangan adik yang melayang meninju wajahku saat tubuh adik meledak menjadi pecahan daging. Entah apa yang akan dilakukan ibu. Duh..

Klik.

Ranjau. Di kakiku. Aku menginjaknya.

Waktu seakan berhenti. Begitu pun ayunan kakiku.

Aku sendirian sekarang. Hari sudah semakin larut, begitu pun hutan yang semakin temaram. Gelap. Tadi aku sempat bilang apa? Karena sudah terbiasa dengan hal begini makanya aku tidak takut mati? Persetan. Aku takut sekali sekarang. Sangat takut. Aku tidak pernah tahu bagaimana gambaran akhirat. Apa itu surga dan sepanas apa neraka. Sesungguhnya bukan tidak pernah tahu, namun tidak mau tahu. Kenapa? Karena aku takut dengan kematian, karena itu aku tak pernah mau tahu.

Dan sekarang, aku sedang mendekati kematian.

Kemana Tuhan? Tidak bisakah Dia menolongku? Ah, iya! Kenapa juga Tuhan harus menolongku sementara aku tidak pernah menyembahNya? Duh.. Aku takut.

Kalau aku mati, aku akan kemana? Ke surga? Neraka? Atau terombang-ambing di akhirat menunggu nasib? Adikku sekarang berada dimana? Surga? Neraka? Atau terombang-ambing di akhirat? Aku takut.

Dan kepalaku mulai menampilkan potongan-potongan gambar masa lalu. Seakan kilatan, gambar-gambar itu datang dan pergi dengan cepat. Penuh cahaya. Aku melihat saat dimana aku dilahirkan, aku melihat saat ketika ibu menggendongku sambil menangis. Kapan itu terjadi? Oh iya, saat aku terjatuh dari meja. Aku melihat saat diriku membentak ibu cuma karena uang jajan yang kurang, dan aku melihat aku yang sedang berjinjit tengah malam menuju kamar ibu hanya untuk mencuri uang dari dalam lemarinya. Dan kilatan-kilatan gambar masa lalu lainnya. Kemudian gelap. Hening. Sepi.

Tuhan, aku takut.

Rasa takut terkadang bisa membuatmu mual. Kadang juga bisa membuatmu lelah. Saat ini, rasa takut membuatku lapar. Namun apa yang akan aku makan? Tidak apa-apa di sini. Oh, ada, tapi aku tidak bisa bergerak sama sekali karena sekali saja aku bergerak, tubuhku akan berhamburan.

Sial, rasa lapar ini sungguh mengganggu. Pernahkah kau merasa lapar yang sangat? Lapar yang membuat perutmu menabuh gendang sangat gaduh yang mengganggu. Lapar yang entah bagaimana caranya membuat air liur keluar dari setiap sudut mulut dan berhasil membuatmu merasakan liur yang asin sekali. Aku lapar.

Aku lapar dan yang berada di dekatku hanyalah potongan tangan adik.

Haruskah aku makan?

Aku lapar dan itu tangan adikku.

Aku lapar dan bodo amat. Adikku sudah mati. Orang mati tidak memiliki rasa. Jadi, kenapa harus merasa bersalah jika aku harus memakan daging tangan adikku? Toh, dia tidak akan merasa kesakitan.

Pada gigitan pertama, aku mual. Muntah. Muntah sejadi-jadinya. Rasanya? Eugh.. Namun pada gigitan kedua dan selanjutnya, aku menikmatinya. Ternyata aku benar-benar lapar, aku menggigit dan mengunyah seakan tidak ada hari esok. Sangat lahap. Dan habis, sampai yang tersisa kini cuma kuku-kuku adik yang memang aku pisahkan dari daging di jemarinya.

Bagai ditampar, kemudian aku tersadar. Manusia macam apa aku? Memakan daging adiknya sendiri cuma untuk memuaskan rasa lapar. Rasa duniawi. Ibu selalu bilang jika rasa lapar adalah duniawi. Jika kau tidak bisa mengendalikan laparmu, berarti kau tidak pernah bisa mengendalikan duniamu.

Bangsat. Aku orang yang bangsat. Bahkan lebih bangsat dari bangsat sendiri.

Aku menangis sejadi-jadinya. Namun hanya sebentar. Rasa sedihku berganti dengan rasa lelah yang sangat.

Kalau dihitung, sudah sekitar 4 jam aku berdiri di sini. Berdiri menyelamatkan diri dari ranjau yang berada tepat di bawah telapak kaki kananku. Pegal sekali rasanya. Keram. Dan aku takut.

Sebenarnya, bagaimana rasanya mati? Apakah enak? Damai? Sepertinya iya. Sebab kalau tidak, tidak mungkin ada banyak orang yang rela bunuh diri. Iya, kan?

Eh, sebentar. Ada cahaya menyilaukan di kejauhan. Sepertinya aku akan selamat! Ada orang lain di sini. Biarkan aku berteriak.

Sampai teriakan yang tidak terhitung, bantuan tidak juga datang. Ternyata itu bukan bantuan. Bukan orang. Itu hanya sebuah cahaya. Haha.. aku berhalusinasi sekarang. Melihat cahaya yang sebenarnya tidak ada. Hahahahahaha..

Aku takut.

Karena takut, aku melakukan hal-hal yang seharusnya tidak dilakukan oleh remaja normal sepertiku. Salah satunya, mengencingi diri sendiri dan juga menadahi air kencing untuk diminum. Aku haus. Dan rasa air kencing tidak terlalu buruk, kok. Sedikit asin, dan bau menyengat. Namun, lumayanlah.

Eh, apa itu?

Di kejauhan, di tengah rimbunnya hutan, aku melihat sosok yang mengenakan tudung berwarna hitam. Jubahnya juga. Sosok itu membawa pedang besar yang sepertinya sangat tajam. Kurasa siapapun yang melihatnya akan sangat ketakutan. Salah satunya, aku.

Aku takut. Aku takut mati saat ini, Tuhan. Kenapa Engkau tega membuat hambaMu tersiksa seperti ini? Sudah harus berdiam diri karena menginjak ranjau, kini aku diteror oleh sosok yang sama sekali tidak aku kenal. Sosok yang sangat-sangat menakutkan.

Sosok menakutkan itu semakin mendekat. Sampai pada titik ini, jangan bilang aku berkhayal! Aku sadar, sepenuhnya sadar! Dan karena aku sadar, aku tidak mau ditangkap oleh sosok itu. Sosok tinggi besar memakai tudung dan jubah hitam dengan sebilah pedang besar nan panjang. Aku tidak mau mati di tangan dia. Tidak akan.

Karena keinginan untuk menyelamatkan diri, aku bersiap berlari. Menyelamatkan diri. Dan bodohnya aku, dengan berlari, aku mati.

Ini terjadi dengan sangat, aku ulangi, sangat.. sangat lambat.

Suara ranjau yang terpicu,

Percikan api,

Ledakan yang membuatku terlontar jauh,

Dan tepat sebelum tubuhku hancur berantakan, aku kembali berbisik,

Aku takut.

Leave a Reply