Terdengar suara tertawa dari balik sebuah kamar. Suara seorang lelaki yang tampak bahagia sore itu. Sore yang dingin karena hujan yang turun semenjak siang tadi. Tidak ada segelas teh hangat atau pun kopi dalam cangkir, cukup cahaya lampu redup yang membuat suasana menjadi hangat dan intim.


"Iya! Terus ayah sama mama langsung aja gitu ikutan lari ngejar mereka. Kan konyol jadinya." Rudi tertawa sembari bercerita sambil matanya yang tak lepas memandangi sosok yang ada di depannya.

"Emang konyol kok adik kamu tuh. Udah tau ayah tuh orangnya emosian, kok malah bikin Ayah emosian. Akhirnya dikejar-kejar deh. Rasain!" Dinda menambahkan cerita. Tawa tidak berhenti keluar dari bibirnya, pun bibir Rudi.


"Kamu apa kabarnya sekarang?" Setelah beberapa saat masing-masing mereka terjebak dalam diam, Dinda menanyakan kabar Rudi. Tatapan mereka masih saling melekat satu sama lain.

"Aku? Sedikit begini dan sedikit begitu." Dinda memicingkan matanya, seakan meminta jawaban yang benar dari mulut Rudi. "Uhm... Kabarku baik. Kamu sendiri gimana?"

"Aku baik. Kayak yang kamu liat kok, Rud. Baik-baik aja semuanya."

"Enak ya jadi kamu, bisa baik-baik aja setelah semua ini. Aku masih belum bisa, lho." ekspresi murung terpancar dari wajah Rudi. Dia menelungkupkan wajah pada kedua tangannya yang mengepal.

"Siapa bilang? Aku belajar untuk baik-baik aja, meskipun aku gak bisa. Aku selalu kepikiran kamu, selalu ingin sama-sama kamu. Tapi kenyataannya berkata lain, kita gak bisa seperti itu kan, Rud." wanita itu menggenggam tangan Rudi dan mendekapnya dalam dada.

Rudi menitikkan air mata, Dinda tersenyum memandangnya.

"Tuh kan.. Jadi lelaki sih cengeng! Selalu begitu dari dulu. Dari jaman pacaran." genggaman tangan mereka semakin erat. Dinda melanjutkan,

"Kamu inget gak waktu kita pacaran dulu? Kamu yang nangis gitu waktu aku bilang aku mau pindah rumah. Sambil nangis, kamu bilang kalo kamu gak mau aku tinggalin, kamu gak bisa kalo gak ada aku dalam hidup kamu. Wuih, pokoknya kamu nangis seru gitu deh, kayak anak kecil."

Rudi menahan malu yang mulai terlihat di wajahnya dengan tersenyum sambil menggigit bibir bawahnya.

"Hehe.. Iya, aku inget. Udahan ah ceritanya, malu tau..."

"Lagian salah sendiri. Aku belum selesai cerita udah nangis duluan. Orang tuh dengerin dulu ceritaku sampe selesai, baru komentar. Wong aku lho cuma pindah ke perumahan yang ada di belakang komplek kita, eh kamu nangisnya kayak aku pindah ke Zimbabwe aja!" Rudi merasakan Dinda mencubit hidungnya. Gemas.

"Ya kan aku takut ceritanya sih, yang. Makanya ekspresiku begitu."

"Bukan sedih, kamunya ketakutan gak jelas. Biasa kayak gitu kamu tuh, aku pulang telat dari kantor aja yang kamu teleponin ada kali orang satu kantor. Gak bisa gitu positif thinking sekali aja, biar gak terlalu khawatir." Dinda memulai ceramah panjangnya yang hanya ditanggapi Rudi dengan senyuman.

"Khawatir karena sayang! Khawatir karena cinta!" balas Rudi, tangannya diusap-usapkan ke atas paha yang terbungkus celana untuk menghilangkan dingin.

"Iya, tau kalo kamu cinta banget sama aku. Sayang banget sama aku. Tapi kalo terlalu khawatir kayak gitu ya gak bagus juga, Rud. Kamu jadi mikirin hal-hal yang gak semestinya." terdengar nada serius dari ucapan Dinda. Wajah yang tadinya tersenyum berganti dengan ekspresi serius.

"Aku khawatir karena aku tau kamu tuh susah banget ngedengerin omongan orang, termasuk suami kamu. Aku. Kamu kan asal orangnya, yang. Makanya aku cerewet gini."

"Aku tau, Rud. Aku tau! Tapi aku juga gak perlu setiap saat di khawatirin kayak gitu."

"Kalo kamu tau, kamu denger, gak akan terjadi kejadian itu, Dinda!" Rudi menyelak Dinda dan bangkit dari kursinya. Suaranya meninggi. 

"Kejadian yang bikin aku merasa bersalah sampai sekarang. Aku gak pernah bisa memaafkan diriku sendiri akan apa yang terjadi di malam itu. Harusnya aku ada saat itu. Kalo aku ada, mungkin gak akan kayak gini." dia menutup wajahnya kemudian duduk di tepi tempat tidur. Rudi mulai menangis.

"Maksud aku gak gitu, Rud." Dinda bangkit dan mendekati Rudi. Sambil memegangi pundak suaminya, Dinda berusaha menenangkan Rudi.

"Aku gak bermaksud gitu. Kamu jangan terus-terusan nyalahin diri kamu sendiri atas apa yang terjadi. Bukan salah kamu, aku yang teledor."

"Salah aku, yang. Salah aku. Kalo aja waktu itu kamu gak nyetir mobil sendirian, kecelakaan itu gak akan terjadi. Aku yang salah. Maafin aku, Dindaaaa.." tangisan Rudi semakin kencang, membuat Dinda kikuk.

Selalu seperti itu, setiap kali Rudi menangis karena berbagai hal yang menjadi masalahnya, Dinda hanya bisa diam dan tidak melakukan apa-apa. Rudi bukanlah tipe suami yang kasar, emosional, bahkan dia adalah sosok suami yang didambakan oleh Dinda. Baik, pengertian, sangat sayang terhadap dirinya. Namun hanya satu masalahnya. Tidak seperti lelaki lain, Rudi menghadapi masalah dengan menangis. Pernah pada satu saat, Dinda berkata pada ibunya bahwa ia lebih senang menghadapi Rudi saat suaminya marah-marah ketimbang menenangkan Rudi saat ia menangis.

"Sayang tuh kalo nangis gitu maunya diapain?" tanya Dinda, masih berada di samping Rudi.

"Peluk." balas Rudi disela tangisannya.

"Kan gak bisa, yang." raut wajah Dinda langsung berubah. Kini ia menahan tawa.

"Oh.. Iya ya." tangisan Rudi pun berhenti. Ada senyum di wajahnya.

"Tuh, kalo senyum gitu kan manis jadinya. Eh, lupa... Suaminya aku kan emang manis daridulu." Dinda melongok ke jendela. Dari balik jendela, dia melihat sore hari sudah berganti dengan gelapnya malam. Hujan juga sudah berhenti, menyisakan balon-balon air kecil di dedaunan. "Rudi, aku pergi ya!" lanjut Dinda.

"Sayang, mau ke mana?" Rudi bangkit dari duduknya.

"Ya kembali lagi ke sana. Aku kan udah nemenin kamu hari ini, nah sekarang aku harus balik lagi." suara Dinda terdengar pelan, lembut dan penuh kasih sayang. Ia berbicara sambil memandangi Rudi.

"Kamu emang gak bisa nemenin aku di sini sebentar lagi? Sampai aku tidur, deh. Atau, 10 menit lagi, yah?! Tolong jangan pergi dulu."

"Gak bisa, sayang. Gak seperti itu caranya. Aku pergi, yah!" Dinda bersiap pergi, bersiap meninggalkan Rudi yang kini kembali duduk di tepi kasur dengan tatapan kosong ke arah tembok.

"Kamu gak boleh sakit. Jangan terus-terusan menyalahkan diri kamu sendiri atas apa yang udah terjadi. Inget, Rud, yang udah terjadi gak bisa diulang. Kasihan diri kamu kalau kamu selalu menyalahkan semuanya ke diri kamu. Di minum obatnya, yah! Aku sayang kamu." celoteh Dinda. Mata mereka saling berpandangan.

"Aku gak akan pernah tenang kalau kamu sakit. Aku akan marah kalau kamu sampai menyakiti diri kamu sendiri. Jangan berusaha nyusul aku, akan ada waktunya nanti di mana kita akan sama-sama lagi." lanjut Dinda.

Dari arah teras, terdengar suara mobil memasuki garasi. Kemudian mesin mobil dimatikan. Kini terdengar suara langkah yang mendekati pintu rumah. Dinda memandang pintu, arah datangnya suara langkah itu.

Rudi sedang membetulkan posisi duduknya. "Tunggu sebentar lagi, Dinda. Sebentar lagi." matanya mencari Dinda ke seisi kamar, namun istrinya itu menghilang.

"Rudi, kamu gak tidur, nak? Istirahatlah. Sudah diminum obatnya? Atau kau lapar? Ini, ibu bawakan makanan kesukaanmu." seorang wanita tua yang merupakan ibu mertua Rudi melongok ke dalam kamar.

"Eng.. Bu, tadi Dinda main ke sini. Dia menemaniku dari sore. Kami membicarakan banyak hal, Bu. Dari mulai..."

"Dari mulai masa-masa kalian pacaran, saat ketika kalian menikah, iya kan? Kalian juga tidak lupa membicarakan soal masa depan yang akan kalian jalani sama-sama. Kamu sudah menceritakan hal itu berulang kali, Rudi, dari sejak hari pertama Dinda meninggal." wanita tua itu berceloteh sambil membereskan belanjaannya.

"Tapi ini beneran, bu. Dinda beneran dateng nemenin aku tadi." Rudi menjelaskan lagi apa yang terjadi selama sore itu kepada ibu mertuanya dari dalam kamar.

"Aku gak gila, Bu. Aku sehat. Aku selalu ditemenin sama Dinda, anak ibu." tambah Rudi.

"Iya, nak. Kamu gak gila. Kamu sehat kok. Selalu sehat." Ibu menangis dalam diam, memandangi foto Dinda, anak satu-satunya yang meninggal setahun lalu karena kecelakaan mobil yang parah. Dari laporan dokter, Dinda meninggal di tempat tepat saat sebuah truk besar menabrak sisi kiri mobil yang dikendarai Dinda. Organ dalam tubuh wanita itu rusak parah.

"Kalian lagi ngobrol apa, nih?" Ayah mertua Rudi memasuki rumah setelah tadi mengepel lantai depan yang terkena percikan hujan.

"Ah, biasa. Rudi kembali bilang kalau dia ditemani Dinda." bisik istrinya.

"Rudi, sekarang lebih baik kamu makan, minum obat lalu istirahat. Besok pagi, ikut Ayah ke makam Dinda." teriak ayah mertuanya dari ruang makan.

Dari dalam kamar, Rudi memandangi foto Dinda. Air mata menggenang di sudut sebelah kanan matanya.

"Sayang, ayah sama ibu bilang aku gila. Aku gak gila, aku cinta. Jangan kapok nengokin aku, ya!" lelaki itu mengecup foto dalam bingkai dan menaruhnya kembali. Setelah mematikan lampu, Rudi tertidur.

Leave a Reply