Kapten Laut Merah meratapi terbelahnya laut yang dilewati oleh kapal besar milik Nahkoda Pantai Selatan. Kapten ingat, dahulu dia dan ribuan anak buahnya susah payah membuat hamparan tanah lapang itu menjadi laut. Jangankan melihat laut itu terbelah, ada orang yang meludah sembarangan saja bisa dihukum gantung oleh sang kapten.


Tapi apa boleh buat? Nahkoda Pantai Selatan adalah sahabat lama Kapten Laut Merah. Dari kecil mereka sama-sama hidup di sebuah desa di pinggir pulau. Sambil berjalan menyusuri pantai, mereka memiliki mimpi menjadi pelaut handal yang merajai samudra. Namun jaman berubah, bumi kini rusak. Tidak ada lagi laut untuk berlayar. Kira-kira 15 tahun yang lalu, matahari seperti murka, memancarkan sinar panasnya yang terlalu ke muka bumi. Bencana kekeringan terjadi, hanya yang kuat bisa selamat. Yang lemah? Mati. Tentu saja. Merasa mimpi mereka berdua lenyap, baik Kapten Laut Merah dan Nahkoda Pantai Selatan lemas. Keputusan untuk berpisah demi membuat laut baru sudah bulat. Mereka berdua sepakat untuk sama-sama berpencar demi menciptakan kembali samudra-samudra yang ada dalam mimpi mereka.

Jika sudah sukses, kabar-kabari! Jika sudah menjadi laut, ijinkan aku berlayar di lautanmu, pinta Kapten Laut merah saat itu.

Nahkoda Pantai Selatan pergi ke utara dan menemukan tanah dengan luas berhektar-hektar yang dia rasa bisa untuk dijadikan lautan. Selama 10 bulan mencari anak buah, didapatinya seribu pemuda berbadan tegap yang siap membantu mewujudkan mimpi memiliki lautan. Rapat dilangsungkan dengan sangat rapat, bahkan semut pun tidak bisa mendengar suara mereka. Rahasia, karena hanya Nahkoda Pantai Selatan yang tahu harus kemana mencari air untuk mengairi lahan luas tersebut.

Rapat selesai tepat pukul dua pagi. Subuh ini tim Nahkoda Pantai Selatan berangkat mengambil air. Jangan telat, nanti kualat, pesan Nahkoda.

Kapten Laut Merah mengusap kepalanya berulang kali, sampai ruam merah terlihat di keningnya karena terlalu sering terusap. Anak buah sudah didapat, namun dia belum juga mendapatkan info sumber air. Tidak mungkin menemukannya di bumi yang sudah hancur begini. Harus kemana lagi?

Subuh menjelang saat Kapten Laut Merah menemukan ide yang menurutnya sangat super dan keren. Sambil memandangi cermin dan merapikan rambutnya yang cuma lima garis, dia bersiul, mendendangkan lagu perang dengan tenang.

Kalau cuma begini, manalah mungkin dia rugi? Dia kan sahabatku dari kecil." gumamnya.

Perang tidak terbantahkan. Subuh yang dingin menjadi saksi pertumpahan darah di jalan kecil menuju rembulan. Pasukan Kapten Laut Merah membabi buta membantai pasukan Nahkoda Pantai Selatan membuat hujan darah membasahi bumi dengan deras. Nahkoda Pantai Selatan kalah telak, tidak ada anak buah yang tersisa. Kapten Laut Merah juga tidak menang telak, ratusan pasukannya mati. Di jalan menuju bulan yang tadinya lapang, kini dipenuhi gelimpangan mayat-mayat di kiri dan kanan. Kapten Laut Merah dan Nahkoda Pantai Selatan saling berpandangan. Yang terdengar adalah kesunyian yang mengganggu, membuat bulu kuduk siapa pun pasti meremang.

"Ikutlah denganku, hai Saudaraku. Kita buat lautan luas, lalu menguasainya bersama-sama. Mengarungi samudra seumur hidup." pinta Kapten Laut Merah.

"Saudaraku, dalam satu kapal, hanya satu Nahkoda yang memiliki kuasa, bukan dua. Aku tak bisa pergi bersamamu. Mengapa tak kau bunuh aku seperti yang kalian lakukan kepada anak buahku?"

"Karena kau sahabatku, saudara yang telah lama berpisah dariku. Mana mungkin aku tega membunuhmu?"

"Tapi kau mampu menghancurkan mimpiku untuk memiliki lautan. Dulu kau bilang, kita berkelana demi membuat lautan luas, agar bisa bersama-sama menjadi penguasa samudra. Yang terjadi adalah kau membunuh anak buahku dan menghapus mimpi itu dari dalam kepalaku." Nahkoda Pantai Selatan memandangi Kapten Lautan Merah, tajam.

"Karena, saudaraku, sumber air hanya satu. Sementara yang membutuhkan air itu adalah kita berdua. Jadi, antara aku atau kau yang bisa memilikinya. Karenanya, kupilih perang untuk menentukan siapa yang berhak menguasai sumber air di bulan."

"Dan kau malu untuk mengakui jika kau tidak berhasil menemukan sumber air yang lain? Sebenarnya, kita bisa berlayar bersama, menjadi penguasa lautan berdua jika kau mau."

"Tidak, saudaraku. Pilihannya hanya gagal dan menang. Bukan negosiasi untuk bekerja sama."

Nahkoda Pantai Selatan mengambil topi yang tercecer di jalanan, merapikan pedangnya dan berjalan menuruni bulan.

"Jalanmu kini lapang, Kapten. Ambilah air pada sumbernya sampai kau puas mengairi lahan yang akan menjadi lautanmu. Aku pergi."

"Tapi, saudaraku, kau bisa menjadi rekananku melaut. Menguasai samudra."

"Tidak. Pilihannya hanya gagal dan menang, bukan negosiasi untuk bekerja sama." Nahkoda Pantai Selatan melanjutkan langkahnya, sementara Kapten Laut Merah menghapus rasa terkejutnya dengan menyuruh anak buahnya menaiki rembulan dan mulai memasang selang untuk mengairi lahan agar menjadi lautan. Selang-selang berdiameter besar sudah disiapkan para pasukan agar lautan cepat tercipta. Kapten Laut Merah memperhatikan itu semua sambil tersenyum puas, kini ia memiliki lautan yang dia impikan dari kecil.

Agar tidak ada lagi orang-orang yang mampu mengambil air dari bulan, Kapten Laut Merah menghancurkan jalan yang menghubungkan bumi dengan bulan. Kemudian seorang anak buah meniupkan terompet ke timur jauh, memanggil anak buah lainnya yang sudah menyiapkan kapal besar untuk mereka berlayar.

Kapten Laut Merah tersenyum puas, kini dia merasakan kenikmatan menjadi seorang pelaut. Dari atas kapal, dia mulai bersenandung. Matanya terpejam, pikiran melayang jauh.

Dan saat membuka matanya, dia tersadar kalau dirinya tidak berada di atas kapal besar. Bukan, dia berada di dalam sel sempit yang tidak bagus kondisinya. Kegelapan menyelimuti kamar itu, tentu dengan kesepian yang menemani. Ah, dia teringat. Dirinya berada di dalam lumbung kapal, di sebuah sel sempit bau yang digunakan untuk menahannya. Orang-orang bilang dia gila, hingga harus ditaruh di sini daripada dibiarkan berkeliaran di kapal.

Sejenak matanya mencari-cari. Seingatnya, ada seseorang juga yang bernasib sama seperti dirinya saat ini. Terjebak dalam kapal yang seharusnya menjadi milik mereka. Tapi, ke mana dia?

Tidak lama, lima orang berbadan besar memasuki ruangan gelap itu, membuka sel yang berada di sebelah sel Kapten Laut Merah kemudian mengangkat tubuh yang sudah kaku. Itu Nahkoda Pantai Selatan. Dia tidak sadarkan diri.

"Mau kalian bawa ke mana saudaraku itu?" tanya Kapten Laut Merah

"Akan kami buang ke laut. Dia mati, bunuh diri tadi pagi. Kegilaannya sudah parah, hahahaha.." jawab seorang pemuda berbadan besar.

"Mati? Saudaraku mati?! Kalian kurang ajar. Tidakkah ada rasa sedih atas kematian dirinya?" Kapten Laut Merah mulai menangis.

"Ah, kau tidak mengenali kami. Kami baru akan menangis jika engkau yang mati. Ingat-ingat, kami adalah anak buahmu dahulu."

Kapten Laut Merah terdiam. Menahan nafas. Akhirnya dia tahu sekarang.

One Response so far.

  1. bagus nih kisah ceritanya :D

Leave a Reply