Sepulang kerja, seperti biasa aku duduk terlebih dahulu di ruang tamu, sekedar menghilangkan penat dan juga memindahkan perasaan lelah menjadi semangat baru. Teringat kata ibuku, jangan pernah membawa urusan luar rumah kedalam rumah. Di sofa berwarna biru tua yang kusam aku duduk, sambil menikmati es teh kemanisan yang dibawakan bu Inah, pembantuku.

Sesaat pikiranku menerawang, lalu mataku tertumbuk pada boneka kucing tua lusuh berwarna orange. Aku langsung teringat ke kejadian masa kecilku. Masa saat aku dan adikku masih kecil.

Boneka kucing yang sebenarnya ayah belikan untuk sepupu jauh yang waktu itu sedang berulang tahun. Namun karena kami merengek memintanya, akhirnya ayah memberikan boneka kucing itu kepada kami sementara ayah membeli hadiah lain untuk sepupuku.

Hampir setiap hari kami memainkan boneka kucing itu berdua, walaupun hanya satu, tapi anehnya kami tak pernah bertengkar untuk sekedar berebut boneka itu. Kami bermain berdua dengan si kucing sebagai "sahabat baru" kami. Ibu, tante dan tetangga menertawakan jika kami sudah sibuk dengan si boneka kucing. "Anak lelaki kok main boneka?!" begitu kata mereka. Kami sih cuek, asik kok!!

Sampai akhirnya pada satu ketika, kami bertengkar hebat gara-gara boneka kucing itu. Ceritanya aku ingin membawa si kucing ke sekolah untuk ku pamerkan kepada teman-temanku. Adikku tau itu, dan dia melarangnya. "Nanti ga ada yang nemenin ade di rumah dong bang!!" Begitu alasannya saat kutanya kenapa. Merasa sebagai anak paling besar dan lebih kuat, aku memaksa. Ini bukan pilihan. Aku harus membawa boneka kucing itu ke sekolah pagi ini. Adikku puntak mau tau, dia tetap bersikukuh melarangku membawa si kucing. Akhirnya tarik-tarikan pun terjadi, sampai akhirnya ibu dan ayah mengetahui hal itu dan memisahkan kami. Sambil merengek aku memberi sejuta alasan agar di perbolehkan membawa boneka kucing itu ke sekolah. Adik pun tak mau kalah, ia juga memberi alasan ditengah tangisannya agar sikucing tetap bertahan di rumah.

Ayah dan ibu memutuskan. Hari ini aku boleh membawa boneka kucing itu, karna kata mereka aku hanya sekolah sebentar, jadi tak terlalu lama meninggalkan adik sendirian. meskipun menangis, mau tak mau adik menuruti kemauan mereka.

Dengan riang kumasukan boneka kucing itu dalam tas dan berangkat sekolah. Sampai di sekolah kubanggakan pamer boneka kucing itu, dan teman-temanku melihat dengan iri. Aku puas. Padahal ada kejadian lain yang sebenarnya tak kutahu. Kejadian yang semestinya mungkin tak terjadi andai saja si kucing tidak kubawa.

Tak lama setelah ku berangkat sekolah, ayah dan ibu pun pergi ke tempat mereka bekerja setelah mereka berhasil meredakan tangis adik. Di titipinya adik kepada bu Inah, yang waktu itu masih muda. Bu Inah langsung menggendong adik sesaat setelah di titipi oleh ibu. Adik dan bu Inah memang sangat dekat, bisa dikatakan, bu Inah adalah "ibu" kedua bagi adik.

Bu Inah sedang membersihkan dapur ketika adik yang merasa bosan akhirnya berjalan keluar. Entah kenapa, saat itu pintu pagar tidak terkunci dan bu Inah juga tak memperhatikannya. Cukup sekali hentakan dan pintu pagar pun terbuka. Adik yang merasa seperti bebas langsung berhamburan keluar ke arah jalan, masih dengan berlari. Tak menyadari bahwa dari arah kanannya ada sebuah mobil sedan yang berjalan cukup kencang.

Dan akhirnya adik pun tertabrak. Bu Inah yang menyadari adik tidak ada di ruang tamu langsung keluar dan mendapati adik sudah di kerubungi oleh banyak orang. Tubuhnya bercucuran darah. Kalap, bu Inah langsung menggendong adik masuk kedalam rumah dan menelepon ibu untuk memberitahu keadaan adik. Tak lama, ayah dan ibu membawa adik ke RS.

Keadaan adik kritis, hampir seluruh tulang belakangnya patah. Begitu jelas dokter kepada ayah. Aku baru saja sampai rumah sakit setelah dijemput oleh paman. Diriku hanya terdiam. Takut. Tapi ayah tidak marah, ibu bahkan memelukku, berusaha menghilangkan perasaan bersalahku. Kami semua panik. Terutama aku dan bu Inah. Tapi berulang kali ayah dan ibu mengingatkan bahwa ini bukan kesalahan kami. Ini sudah takdir. Begitu kata mereka.

Menjelang subuh, ayah mendapat kabar bahwa adik sudah tiada. Tubuh kecilnya terlalu rapuh untuk menahan rasa sakit yang sangat. Saat itu, seketika ingin rasanya ku buang si boneka kucing dan kusakiti diriku. Karena keegoisanku, aku kehilangan adik kesayanganku. Aku menangis. Lalu tertidur.

Dalam mimpiku, aku bermimpi bertemu adik. Ditemani cahaya terang, adik mendekatiku dan berkata padaku. "Jagain ibu dan ayah, juga boneka kucing itu ya. Aku ga marah sama bang, ini terjadi karna kelalaianku aja. Maafin aku ya! Aku sayang abang!!" dan adik pun menjauh seiring dengan meredupnya cahaya itu. Aku janji, bisikku dalam hati. Terbangun, laluku kembali menangis.

Dan hingga hari ini, aku masih menjaga ibu, ayah, juga si kucing. Aku masih memegang janjiku pada adik. Ya, boneka kucing ini mengingatkanku selalu akan kasih sayang si adik yang terasa begitu abadi, hingga saat ini.

SELESAI

5 Responses so far.

  1. Anonim says:

    Sayang aku tidak punya boneka kucing itu...
    Sayang yang punya sudah ada yang punya...

  2. Anonim says:

    ah sedih banget :(

  3. Anonim says:

    sedih bacanya :"(

Leave a Reply