"...I'll leave the door on the latch
If you ever come back if you ever come back
There'll be a light in the hall and a key under the mat
If you ever come back
There'll be a smile on my face and the kettle on
And it will be just like you were never gone
There'll be a light in the hall and a key under the mat
If you ever come back if you ever come back now.."

Percakapan ini terjadi sekitar 1 minggu yang lalu. Antara saya, Mama saya dan juga Abah. Seperti biasa, karena bahasa Inggris saya jelek, saya menuliskannya di dalam bahasa Indonesia.


"Ray, jawab jujur sama Mama. Iyey yang minta sama Abah biar mau balikan sama Mama ya?", ketika pesan ini masuk, yang saya lakukan adalah, menyalakan rokok di siang hari di bulan puasa. Iya, sakit. Terserah.

"Enggak, Ma. Ada apaan dah? Abah ngajakin balikan sama Mama?"

"Iya.. Iyey kan yang maksain Abah?"

"Ma, dari jaman dulu kan Mama tuh paling susah ngikutin kemauan orang. Paling ga bisa dipaksa juga. Iyey udah ngerti itu. Ngapain iyey ngomong begitu ke Abah kalo tau ga bakal mungkin? Ya itu emang kemauannya Abah kali. Emang kenapa?"

Rese. Harus mengirim berkali-kali pesan itu baru kemudian benar-benar terkirim. Koneksi internet di sini sangat gampang membuat saya emosi. Untung saya tidak puasa. Sakit. Iya.

"Gak apa-apa. Yaudah."

Percakapan selesai.

Empat hari sebelumnya

"My beta, kira-kira ibumu masih sayang dan cinta ga sama Abah?", pesan yang masuk di waktu yang tidak normal. Tengah malam. Untung saya tidak sahur. Jadi tidak begitu mengganggu waktu istirahat.

"Gak ngerti deh, Bah. Kenapa gitu?"

"Abah masih cinta sama ibumu. Masih sayang juga. Abah mau bahagiain kamu dan ibumu."

"Gini deh, daripada nanti aku salah ngomong, sok tau, mendingan Abah yang nanya langsung sama Mama. Biar tau langsung."

"Abah takut. Kan kamu tau kalo ibumu tuh judesnya kayak gimana. Galak banget. Abah takut nanyanya."

Saya ketawa baca pesan itu.

"Bah, kan Abah yang paling tau Mama gimana. Abah yang seharusnya paling ngerti cara menghadapi Mama itu harus gimana. Jadi, seharusnya Abah ga perlu takut sama galak dan judesnya Mama. Iya kan?"

"Iya, Abah tau. Abah tau gimana cara menghadapi ibumu. Tapi enggak dengan cara yang dulu Abah lakuin. Abah mau berubah. Mau jadi lebih baik dan jadi lebih mengerti ibumu. Abah gak mau lagi menyesal tuk yang entah keberapa kalinya."

Jeda lama. Tiba-tiba saya teringat akan cerita Mama dan Nenek. Cerita jaman dahulu kala, waktu saya masih berusia belasan. Waktu saya masih sering menanyakan tentang sebab perpisahan dua orang manusia yang menjadi orang tua saya. Inti cerita mereka sama, meskipun tidak pernah menjelaskan secara lengkap. Abah kasar sebagai lelaki. Tidak jarang juga ringan tangan, terlebih jika merasa Mama tidak melakukan tugas sebagai seorang istri dengan baik.

"Hammad.. Masih di situ?"

"Iya, Bah?! Abah mau berubah? Mau perbaikin semua ini? Gak perlu kebanyakan omong dan obral janji, Bah. Buktiin. Kalo saat ini Abah belum bisa buktiin dengan perbuatan, ya buktiin dengan sikap dan tutur kata. Abah ngerti apa yang harus seorang laki-laki lakuin untuk mendapatkan cintanya lagi, kan?"

Entah. Tiba-tiba saya bisa berbicara seperti itu. Pembicaraan tentang cinta dari seorang laki-laki berusia 24 tahun yang saat ini saja masih berusaha mempertahankan cintanya kepada seorang wanita.

Obrolan tengah malam itu berakhir setelah si bapak memberikan pertanyaan basa-basi dan dibalas oleh si anak dengan jawaban basa-basi. Setelah pamitan basa-basi, percakapan selesai.

 11 Agustus 2013, Malam hari di Hari Lebaran

Saya sedang berada di sebuah toko buku saat Mama menelepon. Oke, saya akan skip percakapan basa-basi tentang lebaran dan kawan-kawannya. Saya yakin kalian tidak terlalu ingin tahu percakapan itu seperti apa. Lagi pula, dimana-mana sama. Salam lebaran di Indonesia ya, "Minal aidzin wal faidzin, Maaf lahir dan batin ya!". Cuma bedanya, ini percakapan antara ibu dan anak.

Oke, sampai mana tadi? Iya, Mama saya telepon.

"Lagi dimana, Ray?"

"Gramedia nih. Nganterin Marcella beli pianika."

Marcella adik saya, btw.

"Iyey beli buku juga?"

"Kagak. Udah kemaren-kemaren. Ngapa, Ma?"

"Gak apa-apa. Mau telepon anak aja. Boleh kan?"

"Boleh sih. Yaudah, ngobrol aja."

Dan iya, kita ngobrol. Apa lagi? Tapi saya udah tau obrolan ini akan mengarah kemana. Mama curhat. Mama cerita soal perubahan apa aja yang terjadi setelah kembali mengetahui kabar soal Abah, gimana soal perasaannya dan rencana ke depan.

Mama cerita, soal perpisahannya. Tentang bagaimana Mama sambil menggendong saya, berusaha menahan agar Abah tidak masuk ke dalam rumah untuk yang terakhir kalinya. Saat itu menjelang perpisahan antara bapak dan anak. Karena perpisahan status antara istri dan suami telah terjadi. Mama juga bercerita tentang bagaimana sebenarnya perasaan Mama terhadap Abah, dari mulai dulu sampai sekarang. Yang, dibalik angkuhnya Mama (serius, Mama termasuk ke dalam jenis orang yang akan sangat angkuh dalam hal mengutarakan perasaan pribadinya. Jaim, gengsi. You name it!), ternyata Mama masih sangat mencintai Abah.

Saya masih teringat bagaimana Mama menceritakan percakapan antara Mama dan Abah saat mereka kembali bertukar kabar di facebook,

"Jadi sebenernya kamu masih cinta sama aku, gak?"

"Ya menurut kamu aja sih."

"Kalo emang masih cinta, kenapa juga harus berpisah? Kamu tau, dari pertama kita pisah sampai sekarang, aku masih terus ngerasa menyesal soal perpisahan kita. Bahkan di tahun-tahun awal, aku depresi. Setelah kejadian kamu ga ngijinin aku masuk rumah untuk peluk Ray yang terakhir kalinya, aku nangis. Di pesawat aku nangis, di Pakistan pun. Penyesalan dan depresi yang sangat."

"Aku tanya, emang pernah sekali aja aku bilang kalo aku udah ga cinta kamu? Pernah ga?"

"Kalo emang masih cinta, kenapa harus berpisah?"

"Jawab dulu. Aku tanya, pernah ga aku bilang kalo aku ga cinta kamu? Waktu aku minta supaya kita cerai, pernah aku bilang itu karena aku ga cinta? Saat kamu begitu kasar, pernah sekali pun aku bilang kalo aku ga cinta sama kamu? Kan ga pernah. Sama sekali ga pernah. Aku cuma mengharapkan kamu untuk berubah."

"Kalo gitu kenapa kamu ga bilang? Kenapa kamu ga mau bilang kalo sebenernya yang kamu mau adalah aku berubah? Kenapa?"

"Karena, kalo aku bilang saat itu, yang ada aku cuma memperburuk keadaan. Aku ga mungkin bilang apa yang harus kamu lakuin, karena aku berharap saat itu kamu bakalan sadar, kenapa aku minta pisah. Kamu bakalan sadar kemudian berubah. Sekarang aku tanya, kamu sadar apa kesalahan kamu? Kesalahan yang sampe akhirnya bikin aku minta pisah? Sadar ga?"

"Enggak. Emang apa?"

"Nah! Itu. Bahkan setelah 23 tahun pun, kamu tuh belum juga sadar apa kesalahan kamu."

"Kenapa? Coba bilang apa salahnya aku?"

"Kamu terlalu kasar sama aku. Aku gak suka. Bukan begitu caranya."

"Tapi maksud aku adalah mendidik kamu supaya jadi istri yang baik."

"Iya, tapi gak begitu caranya. Gini, budaya Indonesia dan Pakistan itu beda. Gak mungkin bisa disama-samain. Apalagi diterapkan ke aku, yang sama sekali ga suka di kasarin. Karena itu, makanya aku ga betah. Aku ga suka. Lebih baik pisah, kan?!"

Kemudian di bagian ini, Mama bercerita kalo Abah mulai menangis. Menyadari kesalahannya. Menangisi hal-hal yang terjadi di masa lalu yang tidak mungkin diulang atau diperbaiki. Kertas yang sudah lecek rusak ga pernah mungkin bisa halus licin lagi, kan?

"Tapi..", lanjut Mama, "Aku ga pernah sekali pun bilang kalo aku ga cinta sama kamu. Gak pernah."

"Terus kenapa kamu nikah lagi?"

"Hei, life must go on. Harus ada yang bisa biayain Ray, yang tanggung jawab akan hidupku dan Ray. Asal kamu tahu ya, bahkan setelah kita pisah, aku nunggu sampe 5 tahun. Aku nunggu, nungguin kamu menyadari semua salahnya kamu dan balik lagi. Aku nunggu.. Tapi kenyataannya, kamu ga pernah datang. Sampai 23 tahun kemudian pun kamu ga pernah dateng lagi buat nemuin aku, orang yang sangat kamu cinta. Bahkan, kamu pun juga belum menyadari salahnya kamu."

Jeda agak lama..

"Aku nunggu.. Aku cinta kamu, makanya aku nunggu. Sampai saat ini pun aku nunggu."

Saya membayangkan di bagian ini, suara Mama yang terdengar lirih.

"Sekarang gantian aku yang tanya. Kenapa kamu nikah lagi kalo kamu bilang kamu masih cinta aku?"

"Denger, aku sakit. 18 tahun yang lalu, aku sakit jantung. Keadaannya, aku sendirian di negara orang. Gak ada yang nemenin, gak ada yang ngurusin aku. Semua perhatian dan hidupku yang terus tertuju ke kamu dan Ray, aku alihin ke kerjaan. Tiba-tiba sakitku jadi parah. Aku butuh orang untuk nemenin aku, untuk tau gimana keadaan aku. Karena itu aku nikah."

Oke. Bagus. Sakit jantung dan mewariskan sakit itu ke anaknya. Great.

"Apa kita bisa balik lagi kayak dulu? Berdua ngurusin Ray? Aku janji akan membayar waktu-waktu yang lewat dengan baik. Akan mengganti 24 tahun ini dengan hidup yang baru. Aku janji."

"Iya, bisa. Kenapa enggak? Syaratnya gampang kok. Kamu sehat dan dateng ke Indonesia."

"Iya, aku bakalan terus sehat dan pasti akan ke Indonesia untuk jemput kalian."

..........

Kira-kira hari Senin, sehari sebelum saya berulang tahun, nenek menceritakan tentang telepon dari Mama. Waktu itu saya pulang malam. Sebuah kemajuan, karena biasanya, saya pulang pagi. Nenek bercerita betapa mama gembira dan riang saat itu. Tentang Mama yang entah bagaimana, tiba-tiba bisa terbuka menceritakan perasaan hatinya kepada orang lain, yaitu nenek.

Intinya adalah tentang Mama yang begitu bahagia menceritakan keinginan dan harapannya dengan Abah. Di bagian ini, saya membayangkan Mama bercerita bagaikan anak perempuan yang sedang merasakan jatuh cinta.

Dan sampai saat ini, saya merasakan ada kegembiraan di Mama, meskipun tetap, Mama hadir denga gayanya yang sok cool, jaim dan gengsian. Tapi, saya bisa merasakan ada euforia pada dirinya. Entah karena apa, tapi yang saya yakini, dia menemukan kembali cintanya.

Saya, termasuk orang yang ga percaya sama yang namanya cinta sejati. Apalagi cinta yang mau menunggu. Tapi, melihat sendiri apa yang terjadi antara kedua orang tua saya, saya tahu. Cinta sejati itu benar ada. 24 tahun saling menunggu dan saling bertanya kabar dalam ketidak tahuan. 24 tahun saling menerka sambil mencoba merangkai kembali yang pernah terjalin. 24 tahun, bukan waktu yang sebentar.

Jika kedua orang tua itu bisa, seharusnya saya bisa. Memperjuangkan apa yang menurut saya adalah cinta. Harus bisa.

Saya ga mau seperti kedua orang tersebut, harus menunggu sampai 24 tahun untuk menyadari kalau mereka saling membutuhkan. Harus tersiksa selama 24 tahun hanya untuk tahu kalau mereka benar-benar mencintai.

Saya ga mau terlalu menjadi bodoh, karena belum tentu saya memiliki waktu selama 24 tahun untuk itu. Belum tentu saya memiliki kesempatan selama itu. Dan.. belum tentu dia mau menunggu saya selama ini.
I love you, #K. I do love you..
Wait for me, #K.

"...And it will be just like you were never gone
And it will be just like you were never gone
And it will be just like you were never gone
If you ever come back if you ever come back now.."

Leave a Reply