Nenek bilang, disaat pertama kali aku sampai ke dunia ini, dikala tangisanku membahana, kau langsung menggendong dan menyanyikan adzan di telingaku sembari mendoakan agar aku menjadi anak yang baik, shaleh dan berbakti kepadamu juga ibu. "Jadilah lelaki besar, yang selalu mempunyai mimpi besar. Berkreasilah semaumu, asal jangan tinggalkan tanggung jawab. Sulam mimpi ketika malam, jadikan kenyataan saat pagi menjelang. Dunia ini sangat bersahabat bagi lelaki yang mau bekerja keras". Bisikmu ke telinga mungilku. Aku ini anak kesayanganmu, begitu kata nenek. Karna aku hadir sebagai anak pertama dalam hidupmu. Begitu kau banggakan aku, hingga akhirnya kau pergi saat aku mulai mengerti arti dari kata "ayah"
Lain waktu, tante memanggilku. Berceritalah ia. Tante bilang, meskipun kita tak terlihat sama, namun kau selalu membelaku didepan banyak orang; termasuk keluarga besarmu. Biarpun tubuhku sudah mulai berkembang, tak malu kau menggendongku seraya berkata kepada mereka bahwa akulah kesayanganmu. Tante menambahkan, karena kesukaanku akan hewan peliharaan, hampir tiap akhir pekan kau mengajakku membeli binatang baru. Walaupun yang kau beli tak jauh dari kucing atau burung. "Yang penting anakku girang", Tante menirukanmu. Tak peduli aku sudah memiliki adik kecil. Tak peduli adik kecil itu lebih serupa denganmu. Namun, segala sanjungan "kebanggaan" darimu hilang tepat saat aku terbiasa memanggilmu "papa"
Kau tahu, waktu aku lulus SMP, ketika sedang ikut perayaan kelulusan, Kakek bilang kalau kau adalah penyelamat, meski ternyata kau tak pernah bersayap. Kau adalah sumber kebahagiaan keluarga, meski faktanya kau tak pernah hadir dalam acara kelulusanku. Ibu selalu tersenyum bahagia saat denganmu, hal yang sudah lama tak pernah terpancar dari dirinya, kata kakek. Kita sering bernyanyi bersama di akhir pekan, sembari basa-basi soal kehidupan dan pekerjaanmu. Kau juga memberiku adik yang tampan, yang akhirnya kau bawa pergi entah kemana. Pernah berpikir bahwa aku merindukan sosok nyata? Mungkin tidak. Karena lagi-lagi kau menghilang. Lenyap.
Minggu kemarin, sore hari. Mama mengajakku ngobrol. Biasalah, obrolan antara anak dan ibu. Obrolan yang separuhnya berisi masa depan, separuh lagi bertema masa lalu. Di satu kesempatan, mama bercerita tentangmu. Tentang rasa cintanya yang dalam kepadamu. Betapa mama sangat memujamu saat ini. Tergambar dari omongannya, beliau seperti merelakan sisa umurnya tuk dihabiskan bersamamu. Aku hanya tersenyum. Sebenarnya pedih, namun senyum lebih baik. Aku tak mengenalmu. Siapa kamu?
Yang pertama berpisah..
Yang kedua meninggal..
Yang ketiga menghilang..
Entah yang keempat..
Huft.. Ayah-ayahku, kisah tentang kalian tak selalu manis, mendekati getir bahkan. Namun karena kalian, aku belajar menjadi lebih baik. Baik sebagai ayah maupun suami.