"Jadi sekarang, setelah semuanya, papa dateng dan ngajak aku ikut sama papa? Kemana aja, pa?"
http://joehasan.files.wordpress.com/2011/04/ayah.jpg


"Dit, ga segampang itu ngejelasinnya. Tolong kamu ngerti.."

"Ga gampang papa bilang? Oh.. sama pa. Ga gampang jadi anak yatim selama 20 tahun. Ga gampang jadi anak yang selalu berharap kehadiran papanya di tengah malem. Dan sangat ga gampang ketika seorang anak harus menjadi pengganti sosok papa di rumah."

"Papa minta maaf, Dit. Sekarang ikut papa ya, papa akan ganti semuanya. Ajak mama juga."

"Enak bener pa?! Ganti pake apa? Pake duit, iya? Pake duit yang papa punya, yang papa pikir bisa ganti semua kenangan yang semestinya ga aku rasain? Otak papa dimana?"

"Ardito Rachman, maafin papa nak. Demi apa pun papa mau ganti semua derita yang terjadi karena papa. Maafin papa, nak. Maafin kalo papa baru hadir sekarang, setelah kamu dewasa. Papa cuma mau kita hidup sama-sama, bahagia barengan kamu dan mama."

"Biar aku kasih tau satu hal.." Dito menatap tajam sosok ayahnya. "Ah udahlah, ga usah.." Ucap Dito lalu berpaling. Belum jauh langkahnya, Dito menengok ke belakang dan berkata, "Aku kasih tau satu hal, pa. Apa pun yang papa lakukan, apa pun yang papa coba kasih ke aku dan mama ga akan bikin aku luruh pa. Karena bagi aku, papa ga ada artinya. Lebih baik papa mati dan ga pernah dateng lagi. Ngerti pa?!" Bahu Dito naik turun menahan emosi yang sedari tadi ditahannya. Kini keluar sudah semua kemarahannya selama ini. Keluar sudah kekecewaannya karena menunggu sosok ayahnya datang.

"Dito.. Kamu serius ngomong gini?" Air mata mulai menetes di pipi orang tua itu.

"Hey!!" Dito mendekatkan wajah ke ayahnya. "Berhenti nangis, pa. Berhenti nangis!! Udah ga ada guna papa nangis, papa memohon, papa berharap saat ini. Ga ada guna. Kemana aja selama ini? Harusnya, air mata itu ada di 20 tahun lalu. Harusnya penyesalan ini dateng ketika papa tau hidup aku dan mama susah. Bukan sekarang. Ga ada guna. Aku udah ga butuh perhatian dan uang papa." Dito mengeluarkan dompetnya. "Liat, aku punya uang. Aku punya tabungan. Uangku banyak, pa!!" Dilemparkan uang itu ke wajah ayahnya.

"Mendingan sekarang papa pulang dan urus idup papa sendiri." Dito berjalan menjauh.

Lelaki tua itu memandangi punggung anaknya yang terus berjalan meninggalkannya. "Papa sayang kamu, nak.."

***

"Nak, ibu tau kok kamu sayang sama papa.. Jangan gitu. Papa kan tetap orang tua kamu. Kalau ada waktu, kamu datengin ke rumahnya ya. Ibu yang minta nih.."

Ucapan ibu tadi siang terus terngiang di telinga Dito. Semakin ia mencoba melupakan, ucapan ibu dan bayangan ayahnya terus tergambar jelas di pikiran. Berjam-jam Dito hanya mengguling-gulingkan badannya di kasur tanpa bisa terpejam. Di satu sisi ia merasa bersalah, di sisi lain, ia kesal dengan ayahnya. Ketika sedang asik memutar badannya di kasur, tiba-tiba dompetnya jatuh. Terpampanglah foto Dito sewaktu kecil di pangkuan ayahnya. Kalau tidak salah, foto itu ketika ia dan ayahnya sedang berada di rumah eyangnya. Tanpa sadar, air mata Dito tumpah. Iya, ternyata ia benar menyayangi ayahnya. Ia benar merindukan sosok itu. Walaupun hatinya terus mencoba berbohong, namun cinta selalu jujur. Diambilnya handphone yang tergeletak didekatnya.
"Pa.. besok mau ketemuan? Aku tunggu di Benton besok sore." *klik*

Malam itu, Dito menangis. Katakanlah tangisan bahagia.

***

Dari jam 2 siang Dito sudah duduk-duduk di salah satu cafe di kawasan Benton. Terhitung sudah tiga gelas kopi ia habiskan. Sekarang sudah jam 4 sore. Mungkin sebentar lagi ayahnya akan datang. Sudah ia pikirkan apa yang akan dilakukannya ketika bertemu papanya nanti. Memeluknya, meminta maaf, menuruti semua keinginan ayahnya. Pokoknya melakukan semua hal yang selama 20 tahun ini terlewatkan. Iya, Dito sayang ayahnya.

Dari seberang jalan, ia melihat sosok yang sudah tak asing lagi. Itu dia papanya. Dito bergegas bangun ketika papanya memberikan isyarat agar ia duduk dan menunggu di sana. Sambil tersenyum, papanya berjalan menyeberangi jalan yang cukup besar itu, tersenyum hingga orang tua itu tak cukup sadar bahwa ada minibus yang melaju cukup kencang kearahnya. Semua terjadi begitu lambat. Dito yang melihat itu kemudian berlari dan meneriaki ayahnya. Namun, semua terlambat. Papanya terlempar beberapa meter setelah tertabrak. Tak sadarkan diri dengan darah di sekujur tubuhnya. Dito histeris. Ia menangis sambil memeluk ayahnya.

Sore itu, Dito menangis. Katakanlah tangisan penyesalan.

3 Responses so far.

  1. warm says:

    ceritanya bagus,
    salam kenal kakak ^^

  2. Aaaaaaaaaaaaaaa dikomen om warm!! :D

  3. Anonim says:

    Cinta itu menyembuhkan? namun jika cinta itu sudah menyakiti sampai paling dalam, apa masih bisa cinta itu menyembuhkan...

Leave a Reply