Japri menjalani hidupnya normal. Biasa seperti orang lain pada umumnya. Pagi hari ia bersiap berangkat ke kantor, siangnya makan siang, sore kembali ke rumah, pada malam hari ia membenamkan segala lelah diatas kasur tuanya. Biasa, terlalu biasa malah.
Orang satu kampung tahu kalau Japri adalah seorang pemuda dengan tingkat kesabaran tinggi. Sangat sulit melihat Japri bersikap emosional dan meledak-ledak. Pembawaannya santai dan kalem membuat hampir setiap orang menyukainya. Karena tak pernah mengumbar emosi, dirinya sering dipercaya untuk menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di kampungnya. Meskipun masih muda, Japri adalah pemuda yang cukup dihormati.
Pagi itu dimulai dengan suara teriakan dan makian yang bersumber tidak jauh dari kamar Japri. Oh, rupanya lagi-lagi keributan keluarga yang tinggal berhadap-hadapan dengan rumah Japri. Terhitung sudah seminggu keributan suami dan istri itu berlangsung dan anehnya, hanya terjadi pada pagi buta dan malam hari. Dengan enggan Japri bangkit dari tidurnya, membuka jendela, merasakan hembusan angin yang lembut menyentuh wajahnya. Andai suara cacian dan makian tidak menjadi musik pengiring, sudah barang tentu pagi itu adalah pagi yang indah untuk Japri.
Sambil meraih tas dan memakai sepatu, Japri menolak sarapan yang ditawarkan ibu. Sudah ada janji sarapan dengan Rena, pacarnya. Suara cacian dan makian masih terus terdengar ketika Japri menyalakan motornya untuk kemudian berjalan menuju kantor. Sebenarnya jalanan Jakarta cukup lengang pagi itu, namun karena ada kecelakaan di sebuah jalan kecil arah menuju kantornya, akhirnya Japri terjebak macet. Macet yang sangat parah hingga motor Japri pun tidak bisa untuk sekedar berjalan pelan melewati kemacetan itu. Matahari sudah mulai panas, Japri membuka helmnya. Langsung saja angin terasa seakan menyeka bulir-bulir keringat Japri yang jatuh perlahan. Pemuda itu mengedarkan pandangannya. Di sebuah mobil CRV besar, ia melihat sesosok gadis yang sudah dikenalnya lama. Gadis yang sering dicumbunya. Rena. Dia berada didalam mobil itu bersama Irfan, teman sekantor Japri. Tangan mereka saling berpegangan, duduknya pun rapat. Sesekali Irfan mengelus pelan kepala Rena yang dibalas Rena dengan senyum manjanya. Panas rasanya mata Japri menyaksikan itu semua. Ah, lebih baik jangan berpikiran negatif sebelum tahu yang sebenarnya, pikir Japri dalam hati. Untung macet berangsur lancar. Japri bergegas memacu motornya dengan kecepatan maksimal.
Di warung bubur langganannya, Japri sarapan sendiri. Sepertinya Rena lupa dengan janji mereka kemarin untuk sarapan bareng. Tak apa, mungkin Rena sibuk.
Di meja kerja Japri terdapat sebuah surat yang meminta dirinya untuk menemui atasannya saat itu juga. Entah ada apa dan kenapa, yang jelas Japri langsung menemui orang itu. Setengah jam Japri berada dalam ruangan atasannya, saling bicara, saling mendengar namun tak ada jalan keluar. Japri termasuk kedalam 25 pegawai yang harus di rumahkan sementara karena kondisi keuangan kantornya yang limbung. Mau apa lagi, Japri menerimanya dengan senyuman. Hanya itu yang ia bisa, paling tidak, sejauh ini.
Jam 11 malam Japri baru sampai rumah. Air mukanya keruh, senyum yang dipaksakan tak lagi terlihat sempurna. Uang di dompetnya habis. Tadi sore ketika dijalan, dirinya kena tilang polisi karena memacu kendaraan diatas batas normal. Tilang dapat dihindari namun membayar polisi tidak. Mendengar Japri pulang, ibunya langsung menawarkannya makan malam, yang langsung ditolak Japri. Mana ada nafsu makan jika seperti ini? Namun Japri hanya diam ketika ditanya kenapa. Selesai mencuci muka, sayup-sayup terdengar suara teriakan dan makian dari depan rumahnya. Keluarga itu lagi. Pasangan suami istri yang entah kenapa selalu bertengkar. Japri keluar, berdiri dibalik pagar rumahnya dan meminta agar suami istri itu tidak membuat keributan. Jawaban yang didapat ternyata tidak mengenakkan hati. Japri malah dibentak dan dimaki oleh si suami itu.
Seperti ada yang salah, mata Japri mendadak nyalang. Wajahnya memerah. Kepalan tangannya sangat kuat, urat-urat terlihat jelas disepanjang lengannya. Japri langsung berlari kedalam kamarnya, akhirnya ia tahu apa kegunaan senapan yang ayah berikan kepadanya setahun lalu. Diambilnya senapan itu. Wajah Japri mendadak menjadi menyeramkan, ada kegilaan terpancar dari sinar wajahnya. Japri memasukkan peluru kedalam senapan hingga penuh. Ibu yang melihat itu hanya bisa menangis. Japri hilang kesabaran, Japri hilang senyuman. Dia berlari dari dalam kamar menuju luar sambil tertawa keras dan berteriak, diacungkan senapan itu tinggi-tinggi. Tepat di depan kedua pasangan suami istri yang saling berteriak, Japri menembakkan senapan itu membabi buta. Ia tertawa, ia berteriak. Selesai menembakkan seluruh peluru, Japri membuang senapannya lalu mendekati tubuh suami istri yang tergolek lemas. Diiringi teriakan, Japri menendang, menginjak dan meludahi mayat yang ada di depan matanya. Matanya kosong dan wajahnya gila.
Malam itu, Japri melakukan hal yang tak pernah ia lakukan sebelumnya.
yang pulang dari hati ya ray?
:)
sadis yang menyedihkan :|
iya. nungguin yang pulang daritadi ga dateng-dateng. huft #entahApaIni