http://dokterpenulis.files.wordpress.com/2010/09/gerimis2.jpg


Seharusnya masih terang, tapi karena hujan yang terus mengguyur sedari pagi, sore itu terlihat gelap. Kilat masih menyambar diatas langit. Jalanan Madiun tampak lowong. Mungkin orang-orang lebih memilih berada di rumahnya, ngobrol bareng keluarga ditemani kopi atau teh juga televisi. Tapi tidak untuk Ian.

Ditengah gerimis, Ian memacu motornya dengan kecepatan medium. Maunya sih maksimum, tapi jalanan licin. Hampir bisa ditebak, sore itu ia mengarahkan motornya menuju sebuah toko buku di pusat kota. Ada yang ingin ia temui. Ada cerita yang hendak ia selesaikan. Mudah-mudahan orang yang ingin ia temui belum pulang.
Diana merapikan tatanan buku yang berantakan di beberapa rak. Sesekali ia jongkok meraih buku-buku yang terjatuh. Perutnya yang tengah gendut tak menghalangi pekerjaannya, malah semakin semangat. Meskipun dokter bilang ini sudah memasuki bulan ke delapan, namun Diana belum mau mengambil cuti menunggu kelahiran anaknya di rumah. "Buat apa, wong masih bisa kerja. Malah aku males kalo di rumah. Ga ngapa-ngapain", begitu jawabnya jika ditanya.

Setelah menaruh motornya agak jauh dari toko buku, Ian berjalan sambil memperhatikan keadaan didalam toko itu. Ia melihat Diana dengan perut besarnya yang terus bejalan kesana-kemari. Ian tertawa. Diana tetap sama seperti dulu. Semangat kerjanya tak pernah padam, walau perut besar seakan menenggelamkan tubuhnya yang mungil. Begitu dekat, Ian langsung masuk kedalam toko buku itu.

"Di.. apa kabar?"
"Eh.. Hai Yan!! Uhm.. kamu? Gimana kabarnya?" Wanita itu terlihat gugup.
"Baik. Udah besar ya!" Ian mengarahkan telunjuknya ke perut Diana.

"Hahaha.. Iya nih. Gede banget."
Lalu hening. Semacam ada sekat yang coba mereka terobos namun sulit.
"Di.. maksud aku kesini, aku cuma mau bilang sesuatu sama kamu."
"Apa?"
Aku mau bilang sesuatu yang selama ini jadi hantu terbesarku. Jadi bebanku. Apa pun yang aku bilang ga usah kamu pikirin. Aku cuma berharap, setelah aku ngomong ini semua, aku akhirnya bisa rela ngelepas kamu."
Diana diam. Apa yang akan disampaikan Ian?
"Kita udah lama pisah, meskipun ga ada kata berpisah yang terucap. Aku ga masalahin itu. Aku cuma pengen kamu tau kalo selama ini aku masih sayang kamu. Semakin aku coba untuk ngilangin, malah semakin parah rasa itu. Ga, aku ga berharap kita bisa sama-sama lagi, kalo itu yang kamu pikir. Pada akhirnya sekarang aku bisa ngerti keadaan kita. Aku dan kamu yang ga bisa jadi satu."
Kemudian hening kembali.
"Makasih udah jadi bagian terindah dalam hidup aku, Di. Aku memiliki 3 tahun yang membahagiakan waktu itu. Makasih."
Diana menggenggam tangan Ian.
"Setahun kita pisah, baru kali ini aku bener-bener bisa terima dengan semuanya. Sulit, tapi harus. Ini kenyataan. Jadi, terimakasih ya Di.. Aku pamit."
"Ian.. aku.."
"Pssst.. Kalo kamu ngomong sekarang, aku malah makin berat ninggalin kamu. Udah ya. Baik-baik sekarang. Aku pergi.."
Ian keluar meninggalkan toko buku juga Diana. Meninggalkan kenangan yang kini sudah ia relakan. Mungkin kini, hatinya telah bebas.

Diana memperhatikan Ian memacu motornya dari dalam toko. Ia memperhatikan dalam-dalam orang yang pernah begitu disayangnya. Hingga sosoknya hilang ditelan hujaman hujan. Iya, hujan mendadak deras sore itu.


Baca ini dulu biar tau awalnya gimana deh :))

Leave a Reply