Kulangkahkan kakiku dengan cepat, berusaha menyamai langkah kakinya yang kini makin menjauh. Sudah kotor sebenarnya kaki ini, mengikutinya aku sampai harus menginjak tanah yang belok, jalanan berlubang penuh air. Dan lelah pula badanku. Membuntutinya sepanjang hari hanya menyisakan tanda tanya; mampukah aku menghampirinya sebelum fajar, atau lebih tepatnya, beranikah aku menemuinya sebelum matahari menjelang? Itu dia masalahnya. Sudahlah, pikirkan itu nanti, saat keberanian mulai timbul di diriku. Sekarang, jangan sampai kehilangan jejaknya. Ikuti terus, namun usahakan tidak sampai ia menyadarinya.

Pengejaran ini dimulai tadi pagi, saat semua mata masih terlelap dan aku merasa tersentak. Ada sesuatu yang diambil orang itu dariku. Sesuatu tapi apa? Yang jelas, seketika itu aku seperti bermimpi, mendengar suara yang menyuruhku mengikutinya. Jangan sampai membiarkannya lepas dari genggaman dan menghilang dari pandangan. Tetap ikuti namun jangan sampai membuatnya merasa. Susah? Jelas. Wong sehari-hari aku hanya pedagang biasa, yang tak pernah menguntit orang. Jadi setelah aku menyadari semua ini, kutinggalkan istriku yang masih terisak, dan anak-anak yang asyik dibuai mimpi. Harus pergi, jangan sampai tidak.

Dag - Dig - Dug. Jantungku seakan bermain musik menemani langkah kaki. Sumpah aku lelah, orang ini mau kemana? Hampir separuh kota sudah ia kelilingi. Menghapus jejak? Tanggung jawab!! Sambil terus mengikutinya, kepalaku mulai memainkan musik tenang yang perlahan membuatku terbuai, jatuh tidur hingga lelap. Duh, syahdu sekali! Hingga bisa kurasakan bulu kudukku bangun saking terlena. Seperti apa rasanya? Pernahkah kau merasakan leher belakangmu dibelai halus oleh orang lain yang kau sayang? Dibelai halus yang membuatmu kudukmu merinding tapi enak? Iya, belaian yang hanya bisa kau dapat dan kau rasa dari seseorang yang membelaimu dengan perasaan, belaian yang membuatmu merasa nyaman dan aman? Itu yang aku rasakan sekarang. Saat akhirnya aku ingin menghentikan langkah, tetiba ada sebercik sinar yang menghantam pandanganku. Sinar yang putih menyilaukan, mataku mengerjap, menjadi sadar. Oke, kita lanjutkan!!

Dari jarak 10 meter, kuperhatikan nampaknya orang itu mulai lelah. Ia berjalan pelan, sesekali memegangi perutnya. Iya, dia lelah dan sebentar lagi ini semua akan selesai. Tapi ah, bangsat!! Perutku juga ikutan sakit. Eh sebentar, ini perut atau dada? Peduli apa, aku hanya pedagang biasa, memang aku sempat belajar mengenai anatomi? Yang aku rasakan kini perutku sakit. Entah disebelah mana, entah bagian apa. Sakit. Ngilu. Nyeri.

Duh, sebentar lagi adzan. Harus sekarang. Suara yang menyuruhku itu bilang harus mengikutinya sekarang, atau aku tak bisa lagi mengambil "sesuatu" itu darinya. Harus! Atau aku tak akan sempat berdagang pagi nanti. Kusiapkan langkah kaki, mendekatinya dengan pasti. Sudah makin dekat, sudah waktunya. Sekarang!

"Maaf, tidak semudah itu. Kali ini kau belum beruntung." Tandasku pada orang itu. Orang dengan jubah beserta tudung berwarna hitam. Wajahnya seramnya nampak bingung.

"Jangan menyerah, mungkin saat ini kau memang belum benar-benar beruntung. Kau kalah! Sabar ya!" Kemudian kuambil jantungku yang masih segar dan memasangnya kembali. Sambil tertatih, aku pulang. Berdagang dengan aman.

Dari kejauhan, aku sulit membedakan antara tangisan malaikat itu dengan adzan subuh yang berkumandang.

Leave a Reply