Nak, dimakan itu nasinya. Maafkan ayah ya nak, nasi kemarin. Sudah agak berlendir. Jangan lupa tempe gorengnya. Iya, tempenya sudah berbau. Tidak apa-apa, belum busuk. Paling tidak, kita semua bisa makan. Sudah makannya? Sekarang istirahat ya. Coba tidur, pejamkan mata, istirahatkan pikiran. Jangan dengarkan suara kereta yang bising. Diamkan saja, anggap lagu menuju lelap. Besok sekolah, meskipun sepatu kalian sudah tidak berbentuk sepatu. Meskipun satu buku dipakai untuk semua mata pelajaran. Maafkan ayah, nak. Hidup itu keras.

Istriku, sudah kenyang? Maafkan suamimu ini. Makan sisa dari anak-anak. Anak empat harus makan semua. Nasi seliter tak pernah cukup untuk kita berenam. Namun mau apa lagi? Jika cukup, kita makan sisa anak-anak, jika tidak, berpuasa bukanlah hal baru untuk kita. Kau harus mengerti, istriku, keuangan kita sedang buruk. Mencari sampah semakin susah. Siang tadi aku dikejar-kejar satpam komplek depan. Dikira mencuri sepatu orang kaya. Padahal hanya mencari sampah yang masih bisa dijual ke Koh Taslim, juragan sampah depan gang sana. Bajumu sudah robek sana-sini ya? Wah, seandainya bisa membeli baju baru. Iya, maafkan bapak tidak mampu membelikanmu baju, apalagi perhiasan. Jangankan perhiasan, uang belanja besok pun belum kelihatan. Apa masih bisa hutang? Iya, hidup itu berat, terutama untuk kita yang melarat.

Diriku, maafkan aku. Tidak mampu membuatmu bahagia. Siang malam hanya memikirkan rupiah, tanpa pernah isi dompet bertambah. Keliling mencari rejeki diantara hutan beton ternyata sulit, apalagi kita adalah kaum yang sulit. Sulit pendidikannya, sulit keuangannya, sulit kehidupannya. Mau apalagi? Hidup itu berat, kita harus kuat. Diriku, tak usah mengeluh jika merasa lapar. Mengalah untuk keluarga lebih baik daripada kalah segala-gala.

Anak-anakku, maafkan ayah. Hidup bahagia tak selalu bernyawa. Biar senang di alam sana. Jangan berontak apalagi teriak. Maafkan ayah, bantal bau ini menjadi penghambat nafasmu. Jangan teriak, nanti saudara-saudaramu mendengar. Lepaslah cepat, cepatlah pergi. Kau tak lagi berontak, nak? Tak lagi bergerak? Maafkan ayah. Kau mungkin lebih bahagia di alam sana. Kini tinggal ketiga kakakmu.

Istriku cantik, istriku manis. Kau terlalu sayang padaku hingga menolak lelaki lain. Kini jadi apa hidupmu? Miskin sulit nan terbelit. Maafkan suamimu, main cekik tanpa ijin. Memang harusnya tidak ijin, biar kau tak tahu, biar kau tak ragu. Tenagaku terpusat pada jari-jariku yang mencengkeram lehermu. Biar tak cepat, biar tak sakit melepasmu. Jangan berontak, membuat sulit. Relakanlah. Hidup ini sulit, sayang. Kau harus tahu. Sudahi gerakmu, agar tak sakit.

Setengah jam mencekikmu, akhirnya kau kaku. Tak lagi bergerak, hanya mata yang mendelik. Maafkan aku, istriku. Hidup ini berat, aku takut kau tak kuat. Daripada berbuat dosa kau melakukan hal bejat, tenanglah tenang di alam sana. Tutup matamu, sayang. Nikmati perjalanan kematian. Aku sayang kamu, istriku.

Sebelas lebih empat puluh lima. Kereta terakhir akan lewat di depan bedeng kita. Istri dan anak-anakku sudah pergi lebih cepat. Saatnya kususul mereka. Dunia ironi dengan segala isi. Sayangnya, aku tak cukup kuat untuk melihat semua isi. Harus pergi biar tak telat, aku letih seperti ini.

Di kereta terakhir yang melintas di depan bedeng, aku serahkan harapan terakhirku. Dalam satu hentakan cepat, kuucapkan selamat tinggal pada hidup melarat. Berharap nikmat di akhirat.

Leave a Reply