Tepat jam 11 siang, notifikasi di handphone bunyi. Sebuah pesan masuk, biasanya begitu. Hari itu Selasa tanggal 30 Juli 2013, saya tidak puasa. Sakit, lupa sahur, sebut saja alasannya. Sambil mengambil dan menyalakan rokok, dengan malas karena baru bangun tidur, saya buka notifikasi itu. Bukan, bukan karena penasaran akan siapa yang mengirim pesan, tapi karena tidak tahan dengan bunyinya yang berisik. Iya, salah saya. Saya yang setting bunyinya seperti itu, tapi saya juga jadi ga nyaman.

Sebuah pesan dari akun Google+ saya. Sejenak, saya mengernyitkan dahi. Sudah satu bulan saya tidak pernah membuka akun Google+, seingat saya, tidak ada juga orang-orang yang sering berinteraksi dengan saya melalui sosial media yang satu itu. Lalu siapa?

Tidak perlu lama, pertanyaan saya terjawab. Jawaban yang membuat saya tidak jadi merokok, sempat sesak dan tidak bisa bergerak. Bayangkan, waktu terasa lambat saat itu. Saking lambatnya, saya bisa merasakan jika semua gerakan saya terjadi dalam gerakan yang sangat lambat. Rokok saya yang terjatuh dari bibir, angin yang pelan menyapu wajah saya, dan panasnya mata karena emosi campur aduk.

Orang itu membalas pesan yang saya buat 3 bulan lalu. Pesan yang saya kirim tanpa harapan apa pun. Kenapa? Pastinya kau kehilangan harapan jika mencari seseorang dalam rentang waktu 15 tahun dan tidak mendapatkan apa-apa. Pastinya, kau sudah terbiasa tidak menaruh harapan terhadap sesuatu yang sangat jauh, bahkan gelap. Selama 15 tahun, orang ini mengajarkan saya untuk tidak berharap, selama 15 tahun masa pencarian, lelaki ini mengajarkan saya untuk melupakannya. Yang tidak orang itu tahu adalah, selama 15 tahun, saya mati-matian berusaha mematikan sisi anak kecil yang ada di dalam diri saya.

Iya, orang itu adalah Khawaja Abdul Lateef, ayah saya. Atau Abah, begitu dia ingin saya memanggilnya. Mau tahu apa pesan yang dia kirim hari Selasa lalu? Cuma berkata, "Hai! How is Jakarta, Indonesia? Did you still live there?". Cuma itu, dan saya sudah setengah mati menahan air mata, emosi yang amburadul, juga rasa penasaran yang sangat. Kemudian, apa saya balas pesan itu? Iya, satu jam kemudian. Kok?

Begini, saya tinggal di Madiun dan terima kasih Tuhan, rumah saya berada di tempat yang koneksi internetnya untung-untungan. Untung bisa hidup, untung bisa internetan. Dan terjadi pada saat itu. Untung bisa internetan, tapi tidak bisa mengirim pesan. Aneh? Iya. Saya mah udah biasa. Sejurus kemudian, saya mandi, menelepon teman untuk menjemput saya. Kemana kita? Cafe langganan saya yang bisa minum gratis karena saya creative consultant di situ dan bisa internetan gratis dengan koneksi yang cepat.

Saya tahu satu jam terlalu lama, tapi paling tidak, saya berusaha untuk merespon pesannya secepat yang saya bisa. Satu jam? Cepat? Iya, kelamaan memang. Tapi itu yang saya bisa. Akhirnya, saya sampai di cafe itu.

Maaf sebelumnya, bahasa Inggris saya (terutama dalam penulisan) lumayan buruk. Akan lebih baik jika saya menuliskan apa yang saya kirimkan ke Abah saya dalam bahasa Indonesia.

Begitu sampai di cafe, saya langsung ambil posisi duduk yang ternyaman, mengaktifkan koneksi internet di hape saya dan langsung membuka fitur hangout di Google+. Orang yang saya tuju? Lelaki yang ingin saya panggil Abah tapi tidak ada kabar selama 24 tahun.

"Hai, maaf baru bisa bales. Ini dengan Mr. Lateef? Saya Ray Rahendra, anak dari Marry Jane Pangkey. Saya lahir di Indonesia. Ingat Kampung Bali, Tanah Abang? Saya lahir di situ. Kemudian saya dan mama saya pindah ke Kelapa Dua, Srengseng, Kebon Jeruk. Untuk kemudian pindah lagi ke Taman Indah, Tangerang. Jika memang benar anda adalah ayah saya, anda pasti ingat karena itu semua terjadi saat anda masih menjadi suami dari mama saya."

Tidak ada respon. Balasan atau pemberitahuan jika pesan dibaca.

Saya coba lagi kirimkan pesan. Keadaan? Deg-degan parah.

Kamu tahu apa yang saya rasakan saat itu? Takut. Takut gagal. Takut kembali dibohongi orang. Terhitung sudah dua kali saya dibohongi orang ketika dalam masa pencarian ayah saya.

Kali ini, saya takut lagi. Harapan saya kembali tinggi, pastinya saya tidak mau harapan itu menjadi jatuh untuk kemudian mati.

Bicara soal harapan, saya mencoba mematikan harapan kepada siapa pun. Terima kasih, masa lalu.

"Hei, Mr. Lateef? Kenapa tidak membalas? Salah orang kah? Saya harap anda mau membalas pesan saya. Sungguh, saya sangat berharap. Kali ini, saya berharap. Untuk saat ini, harapan saya kembali hidup. Jadi tolong, balas pesan saya."

Lima menit menunggu. Sama. Tidak ada balasan.

Apa yang terjadi selanjutnya? Kepala saya sakit. Sakit yang sangat. Disusul dengan sakit di bagian hati. Literally, hati saya memang sakit. Tiga tahun yang lalu saya terkena penyakit liver. Dan bangsatnya, selalu kambuh bukan karena pola hidup saya yang asal, tapi karena perasaan hati. Jika sedang tidak baik, pasti kambuh. Tapi tidak pernah kambuh saat saya sedang menginginkan kematian. Bangsat. Hati.

Harapan saya jatuh. Terjun bebas. Oke, matikan semua harapan. Sudah seharusnya tidak berharap.

Itu orang iseng, orang salah alamat. Banyak orang yang memiliki nama Khawaja Abdul Lateef, bukan cuma dia. Dan puluhan bahkan ratusan doktrin seperti itu berusaha saya masukan dalam-dalam ke pikiran. Agar tidak terlalu sakit. Tapi percuma, sudah terlanjur.

Saya hanya diam. Mau apa? Menangis? Setiap hari. Setiap saat ketika mengingat dia. Kali ini apa iya harus menangis? Kalau iya, saya kalah.

Selang satu jam, saya memutuskan untuk pulang. Bukan karena liver yang semakin sakit. Itu bisa saya tahan. Hanya saja, saya tidak ingin bermasalah dengan polisi hanya karena menyakiti orang lain. Kasarnya; memukuli orang tanpa alasan jelas hanya karena kesal dengan seorang lelaki yang bernama ayah.

Yang saya tahu, Rabu dinihari adalah malam yang cerah. Terang benderang. Setidaknya, untuk saya.

Leave a Reply