Sejak saat saya mulai dewasa, maksudnya, mulai mengerti kalau ciuman itu enak, mengerti kalau punya uang banyak itu enak, dan memeluk wanita itu nyaman, ada semacam rasa tidak tenang dalam diri. Entah. Rasa yang selalu ada kapan saja, dimana saja. Selalu. Awalnya, perasaan ini cuma perasaan biasa, yang hanya sesekali mengganggu. Namun akhirnya, rasa ini menjadi pengganggu. Mengganggu pikiran, mengganggu jiwa. Bahkan mengarahkan saya untuk menyakiti diri sendiri.

Iya. Ketika perasaan itu datang, seperti ada yang memicu otak untuk memikirkan tentang menyakiti diri sendiri, tentang kematian yang damai dan lainnya. Situ takut? Apalagi saya. Hei, saya belum menikah, masih mau punya anak dan ingin menjadi berguna. Dan semua itu belum saya dapatkan saat ini, masa harus mati? Tapi, tapi.. Perasaan itu tidak pernah mau hilang.



Terhitung 4 hari ini, entah kenapa, perasaan itu hilang. Hati yang tidak tenang, dorongan ingin menyakiti sendiri, bayangan-bayangan tentang kematian, itu hilang.

Awalnya begini, terjadilah sebuah percakapan yang sangat wajar terjadi antara bapak dan anaknya. Yang membedakan dan tidak membuatnya wajar, mereka terpisah 24 tahun.

Sama seperti chapter pertama, chapter ini dan chapter-chapter lainnya akan saya bahasakan percakapan antara saya dan Abah dalam bahasa Indonesia. Cause, you know.. My English.

"Jadi, setelah dari Jepang, kapan K pulang?"

"Kira-kira sepuluh hari, Bah. Ya pas aku ulang tahun."

"13 Agustus? SELAMAT ULANG TAHUN!! Abah ngucapin duluan yah. Takut kelupaan."

"Belum, Bah. Belum ulang tahun. Kan masih lama. Lagian masa iya lupa? Oh iya, 24 tahun kan Abah sama sekali ga komunikasi sama anaknya Abah ini."

Percakapan terhenti agak lama. Masing-masing diam. Kikuk. Mungkin, mungkin jika ini terjadi di hubungan ayah dan anak pada umumnya, si ayah sudah tersinggung karena merasa tersindir. Tapi yang ini beda. Dua orang lelaki yang memiliki hubungan keluarga yang terpisah lama. Tidak mungkin haru biru pertemuan harus rusak dengan sebuah amarah.

"Ray tau? Abah ga pernah sedetik pun ngelupain kamu. Tidak pernah. Tiap kali keinget tentang kamu dan mama, Abah selalu nangis. Pasti. Nenek yang tahu gimana kangen dan bersalahnya abah harus ninggalin kamu."

Jeda sejenak. Saya diam. Tidak menjawab pesan itu. Tidak berani, itu lebih tepatnya.

"Kamu tau apa yang tersisa dari perpisahan selama 24 tahun di diri Abah? Penyesalan. Hei, selama 24 tahun ini, Abah merasa sebagai orang yang kalah. Pecundang. Hanya untuk membela apa yang seharusnya Abah bela, Abah ga mampu. I am the lost man. Rasa penyesalan dan kegagalan selalu menghantui Abah. Kematian bagi Abah sangat dekat selama 24 tahun ini. Kenapa? Karena Abah rasa ga ada guna juga untuk selalu kepikiran anak dan seorang perempuan yang Abah cinta yang Abah sendiri ga bisa mencari dan menemukan mereka."

Kembali diam. Saat itu, yang ada di kepala saya adalah suara lembut seorang ayah yang sedang berbicara kepada anak sulungnya sambil saling berpandangan.

Sial, saya terlalu sering menonton Road to Perdition, hingga bayangan ideal tentang bapak dan anak selalu hidup di kepala. Bukan hanya Road to Perdition, saya juga banyak menonton film-film yang bertema ayah dan anak. Sebut saja Warrior, Pursuit of Happiness, Being Flinn, Life as a House atau Everybody's Fine. Dan, saya akan menangis seperti anak kecil saat menonton film-film itu.

"Ray.." sebuah "Beeb" dengan pesan darinya menyadarkan saya dari lamunan picisan tentang ayah dan anak.

"Ya, Bah?"

"Inget, kamu anak Abah! Anak kecilnya Abah!! Lelaki Abah satu-satunya!! Dan Abah selalu sayang sama Ray. Selalu. Abah tau Abah salah, Abah kalah, Abah ga pernah keliatan selama 24 tahun ini, tapi satu yang tetap bertahan sampai kapan pun, Ray anaknya Abah. Dan Abah sayang sama Ray. I always love you, Ray. Always."

........

"I miss you, Ray. I do miss you. I love you. I do love you, Ray. Maafin Abah, buang semua dendam, buang semua kesal. I love you. I always love you, my dear son.."

Air mata yang entah dari mana mulai memburamkan pandangan saya. Dada saya penuh. Yes, i love this old man. Deep inside my heart, i love him, i miss him so much..

"I.. I.. I love you too, Abah.."

Pecahlah tangisan bodoh yang mungkin hanya kamar dan Tuhan yang tahu seberapa besar luapan emosi saya.

"I love you, Abah. Jangan pergi lagi."

"Abah ga akan pergi lagi."

Jeda yang lumayan lama. Saya menangis, mungkin yang disana juga. Entah. Saling membayangkan tanpa bisa merasakan.

"Dan Abah harus janji akan telepon Ray waktu Ray ulang tahun. Jadi orang pertama yang telepon Ray! Please, Bah. Selama 24 tahun, untuk pertama kalinya, tolong Abah telepon Ray pas Ray ulang tahun."

"Sebenernya Abah pengen dateng, terus peluk dan cium kamu. Abah pengen peluk anak Abah."

"Itu bisa nanti. Aku pengen dengerin suara Abah. Telepon yah.."

"Iya, anakku tersayang. Abah akan telepon. Pasti."

"Makasih, Bah.."

"Sekarang, udah jam 5 pagi. Ray harus tidur. Istirahat. Besok kita lanjut lagi ngobrolnya. Abah harus kerja juga. Love you. Assalamualaikum.."

"Love you too.. Wa'alaikum salam.."

Dan setelah hari itu, saya mendapatkan ketenangan yang sudah lama saya cari. Ketenangan yang selalu saya tunggu disaat timbul dorongan untuk menyakiti diri sendiri. Ketenangan yang selalu pergi saat saya berpikiran untuk mati

Beberapa hari ini, saya selalu tidur dengan bayangan setting Road to Perdition. Ayah dan anak yang duduk di meja makan. Yang membuatnya beda. Itu Abah dan saya.

3 Responses so far.

  1. ane doain supaya happy ending bro....

  2. Sangat mengharukan sob -__-
    Ditunggu kelanjutannya.

  3. V says:

    Hidup memang ajaib ya Ray. Tuhan juga. Ia ajaib dan Maha Baik. Sekarang tak ada yang akan memisahkan kalian lagi. *peluk kenceng* :)

Leave a Reply