Pukulan yang entah keberapa kali dalam seminggu ini ku terima dari lelaki bernama Ayah.

"Sudah ayah bilang berkali-kali, nurut sama apa yang ayah bilang. Tolonglah!" Ucap ayah sambil terus memukuli wajahku.

"Ampun, yah.. Ampun.." Aku mengiba, berharap isakanku bisa menghentikan pukulan yang berkali-kali mendarat di wajah.

"Ayah sebenarnya tidak mau memukulimu seperti ini. Seperti anjing! Kau tau anjing? Iya, anjing yang harus dipukuli dulu biar menuruti apa perkataan tuannya. Itu sama seperti kamu!"


Ayah mengakhiri siksaan pada malam ini dengan tendangan yang tepat mengenai ulu hatiku. Duh, rasanya ingin keluar semua isi perutku. Sakit! Sungguh. Kalau sudah begini, yang terlintas dalam pikiranku adalah ibu. Tapi, wanita yang aku ingin ada sekarang sudah pergi entah kemana.

Seingatku, bulan lalu. Setelah pertengkaran yang sengit dengan ayah, ibu lalu pamit padaku untuk pergi ke warung; membeli perban dan obat merah untuk luka di kepalanya akibat lemparan gelas dari ayah. Tidak lama kemudian ayah juga keluar sambil membawa motornya. Dan setelah itu, ibu tidak pernah kembali. Tidak pernah ada kabar.

Pukulan yang kuterima malam ini terjadi cuma gara-gara aku pulang malam. Harus mengerjakan tugas di rumah sahabatku. Ehm.. Jujur saja, sebenarnya tugas itu sudah selesai dari jam 4 sore, namun setelahnya aku diajak keluar oleh Rijal, lelaki paling tampan di sekolah kami. Kenapa harus ditolak? Aku iyakan saja ajakannya. Toh, aku tidak selalu pulang terlambat. Ayah mungkin mengerti. Tapi yang terjadi sebaliknya.

Begitu aku menginjakkan kaki di rumah, ayah langsung menyambutnya dengan teriakan, makian dan sumpah serapah sambil menarik rambutku masuk ke dalam rumah. Di dalam rumah, siksaan dimulai. Aku mulai dipukul, ditampar, ditendang. Sebut saja.

Ayah juga berteriak-teriak, "Sudah ayah bilang jangan pulang malam! Kamu tetap tidak mengerti!! Ayah sudah capek bekerja, begitu pulang, kamu tidak ada di rumah. Tidak ada yang menyiapkan makan malam, tidak ada yang membuatkan ayah kopi. Dasar anak tidak tahu diri!!" Dan selebihnya, hanya suara pukulan dan teriakanku yang terdengar dari balik rumah kecil kami.

Menjelang tidur, ayah mendatangiku di dalam kamar. Memelukku dan meminta maaf. Kebiasaan yang selalu dia lakukan sehabis menghajar habis diriku. Dalam peluknya, ia menangis dan menyesali perbuatannya. Menyesali namun melakukannya kembali jika aku melakukan kesalahan. Terus begitu.

"Ayah minta maaf, nak. Ayah khilaf."

"Ayah sebenarnya sayang gak sih sama aku?" Tanyaku. Suara yang keluar kubuat sehalus mungkin.

"Sayang, nak. Ayah sayang sama kamu. Tolong nurut, jangan terus ngelawan."

"Kalau ayah sayang, kenapa selalu pukulin aku? Khilaf itu satu dua kali, yah. Bukan berkali-kali."

Ayah hanya memelukku erat. Tanpa mengucapkan sepatah kata.

*******

Hari itu hujan deras. Terpaksa aku berteduh di rumah teman yang lokasinya dekat dengan sekolah. Iya, aku sudah tau, pasti pulang nanti, aku kembali dihabisi oleh ayah. Biarlah, lama-lama aku sudah terbiasa dengan pukulan-pukulan darinya.

Sudah jam 7 malam, aku paksakan diri pulang meski hujan masih saja deras.

Begitu sampai dirumah, ayah sedang duduk di ruang tamu. Sambil tersenyum, ayah menyapaku. Sama sekali berbeda.

"Baru pulang, nak? Sudah makan?" Tanya ayah. Lembut sekali. Aku takut terjadi apa-apa dengannya. Tingkahnya sungguh tidak normal.


"Eh.. Eng.. Iya, yah. Tadi hujan. Ini juga masih kehujanan. Maaf ya, yah. Aku pulang telat."

"Tidak apa-apa. Sudah sana, lekas mandi dan makan malam. Ayah sudah belikan kamu makan malan. Setelah itu temui ayah di sini ya. Ada yang mau ayah tunjukkan."

Curiga? Tentu. Tapi mungkin ayah sudah berubah. Aku turuti permintaanya. Setelah mandi dan makan malam, aku temui ayah di ruang tamu. Ayah masih duduk dengan posisi yang sama. Entah sudah rokok yang keberapa dibakarnya.

"Nah.. Sudah mandi? Sudah makan? Sini, sekarang duduk sini sama ayah."

Aku mendekatinya dan duduk.

"Nak, ayah rasa ayah sudah tidak harus lagi memukulimu jika kamu tidak menuruti kemauan ayah. Kamu sudah dewasa, kan? Ayah yang salah. Ayah janji, ayah tidak akan lagi memukulimu. Janji." Ayah tersenyum. Teduh sekali wajahnya. Wajah seorang ayah yang kudambakan dari dulu.

"Ayah bisa minta tolong, nak? Tolong pencet tombol DVD itu  yah. Ada sesuatu yang ayah ingin tunjukkan. Untuk sekedar membuatmu selalu ingat kalau ayah tidak akan memukulimu lagi. Tolong, nak."

Kemudian aku mendekati DVD dan menekan tombol powernya. Yang terjadi kemudian adalah sebuah video penyiksaan. Aku bergidik jijik. Karena video itu sungguh menakutkan. Awalnya kukira itu adalah sebuah film yang sengaja diputar ayah untuk ditonton bersamaku. Namun setelah kuperhatikan, itu ibu. Bersama ayah.

Perut ibu dipotong oleh ayah memakai pisau yang panjang. Aku bisa melihat isi perut ibu keluar semua.

Adegan selanjutnya adalah, ayah menghujami berkali-kali sebuah alu ke wajah ibu. Sampai alu itu berlumuran darah, dan tentu saja, wajah ibu tidak berbentuk.

Aku menangis. Tangis yang tertahan. Antara takut dan jijik. Antara sedih dan putus asa.

Perlahan, aku menoleh ke ayah. Ayah tersenyum. Senyum yang menakutkan. Kemudian ayah berkata,

"Anakku, kau kira ibumu hilang? Ibu kabur? Bukan. Ibu ayah siksa karena tidak menuruti kemauan ayah. Dan hal yang baru saja kamu lihat, bisa terjadi padamu jika kamu masih saja tidak menuruti kemauan ayah. Jadi, sekarang kamu sudah mengerti kan maunya ayah seperti apa?"

Aku tercekat.

Leave a Reply