Hari sudah senja saat Ian tergesa menuju pulang dan melelapkan diri diantara timbunan tugas yang dibawanya pulang saat seseorang secara tiba-tiba sudah berada diambang pintu rumahnya.


"Ada apa?"

"Aku cuma mau ketemu kamu sebelum akhirnya ga bisa." Jawab gadis itu. Tersenyum.

"Tapi sayangnya aku ga mau." Balas Ian sambil mencari kunci pintu. Saat hendak dimasukkan ke lubangnya, pintu itu terbuka dengan sendirinya.

"Kamu lupa ya kalo aku juga punya duplikatnya??" Gadis itu kembali tersenyum sembari memainkan kunci itu ditangannya.

"Huuuhh.." Desah ian. "Ayo masuk!"


"Oke, jadi gini, lebih baik kamu cepetan ngomong ada apa, biar cepet selesai. Kamu liat kan kerjaan aku sebanyak apa?!" Ian menunjukkan isi tasnya.

"Sabar kenapa? aku cuma mau nemenin kamu aja sore ini. Ngobrol."

"Ga takut dicariin calon suami kamu? Kan minggu depan udah nikah.." Sindir Ian.

"Justru karena itu, sebelum aku nikah, aku mau ngobrol aja sama kamu, mencoba ngilangin beban yang pernah aku bikin." Balas si gadis sambil membuat tanda kutip di kata dosa.

"Dosa? aku ga pernah tau kamu bikin dosa sama aku." Ian menuangkan minuman untuk mereka berdua.

"Putus sama kamu dan menikah sama dia itu udah sebuah beban buat aku Yan."

"Oh, jadi kamu nyadar kalo itu sebuah beban?" Ian menyulut rokoknya.

"Saat ini iya. Apalagi setelah tau kabar kamu setelah kita pisah."

"Tau darimana kamu?" Ian memperlihatkan wajah bingung.

"Ya dari temen-temen kamulah Yan. Kamu yang langsung jadi gila kerja, ga pernah perhatiin kesehatan, ga pernah lagi sosialisasi. Kenapa harus kaya gitu sih Yan?"

"Kenapa baru tanya sekarang Diana? Balas Ian dibuat-buat. "Kenapa baru sekarang kamu mau tau soal keadaanku? Kenapa baru saat ini, kamu baru 'ngeh aku beda? Kenapa ga kemaren saat kita baru aja pisah, kenapa ga bulan lalu, saat aku nangis berantakan denger kabar kamu bakalan nikah. Kenapa?"

"Karena aku ga pengen rasa kasihanku melebihi rasa cinta yang udah ku pendam ke kamu. Aku ga mau nyakitin orang yang udah berharap bisa nikah sama aku. Dan aku ga mau hatiku bercabang saat aku akan menghadapi hari bahagiaku." Jelas Diana.

"Disaat seperti ini kamu masih sempet ngomong cinta?" Ian mencoba bersikap biasa, namun ia tak bisa membohongi gesture-nya.

"Karena aku cinta kamu makanya aku pergi Yan. Karena aku ga mau terus-terusan ngeliat kamu susah gara-gara aku, makanya aku pisah sama kamu. Karena cintaku yang besar buat kamu, makanya aku nikah sama orang lain. Semata-mata karena aku cinta Yan."

"Maksudmu?" Ian bingung. Ditatap dalam-dalam gadis yang ada didepannya.

"Aku ga pernah cinta dia.." Jawab Diana dibalik suaranya yang mulai serak. "..dan sepertinya aku ga akan pernah bisa cinta dia.." Tambahnya.

"Terus buat apa pernikahan ini diadakan?"

"Aku cuma pengen bikin ibu seneng Yan. Ibu akan seneng kalo aku nikah dengan orang yang dia pilih." Air mata Diana mulai berjatuhan.

"Kita bisa perbaikin ini! Aku bisa gagalin pernikahan ini!!" Balas Ian. Penuh keyakinan.

"Tapi kamu ga bisa bikin ayah dan ibu jadi respek ke kamu. Ga akan bisa. Orang tuaku keras Yan."

Ian diam. Mukanya penuh tanya.

"Iya, ayah sama ibu tuh ga suka sama kamu. Makanya mereka ingin kita pisah dan jodohin aku sama lelaki itu. Awalnya aku ga mau. Tapi setelah ibu mulai sakit-sakitan, aku mulai berubah. Aku harus mau menikah sama dia. Apapun pokoknya aku lakuin demi ngeliat ibu sehat lagi." Jelas Diana disela tangisnya.

"Jadi karena itu kamu dateng kesini? Mau jelasin semua ke aku?" Balas Ian sembari mengelus rambut Diana.

"Salah satunya. Tapi maksud aku kesini lebih tepatnya tuk ngenang kembali semua yang udah pernah kita lewatin. Aku pengen ngerasa deket lagi sama kamu walaupun cuma sehari."

Aku malah ingin ini selamanya Di..

"Tapi kan semua ini ga akan bikin semuanya jadi sama Di. Ga akan pernah sama."

"Paling ga, ini bisa ngobatin semua kerinduanku sama kamu selama ini Yan." Ucap Diana sambil menghapus air matanya juga air mata yang mulai keluar dari mata Ian.

"Jangan nangis yah!! Aku pengen kamu senyum. Kita senyum. Jadikan hari ini hari terindah buatku Yan."

"Walaupun nanti aku galau? aku lebih gila kerja lagi?" Balas Ian. Tersenyum canda.

"Setelah semua kujujuranku, masa iya kamu masih mau galau? Walaupun aku ga bisa lagi ada buat kamu. Tapi kan kamu tau kalo sampe saat ini, ternyata cintaku cuma kesini." Ujar Diana sambil menunjuk dada Ian.

"Ya udah. Mau ngobrol apa nih?" Ian melembut.

"Aku boleh nanya?"

"Nanya apa??"

"Awal kita ketemu, apa sih yang bikin kamu suka sama aku?"

"Ah, nanyanya jebak nih!!" Canda Ian.

"Ihhh....serius!!"

"Aku suka senyum kamu, tatapan mata kamu yang bikin aku ngerasa gimana gitu. Juga sikap kamu yang ujug-ujug sok akrab sama aku." Ian meneguk minumannya.

"Hahahaha.. emang sok akrab ya? Aku malah ga nyadar tuh.." Canda Diana.

"Dasar!!"

"Oiya, kan yah, selama kita pacaran, kamu tuh jarang banget cemburu sama aku. Kenapa sih?"

"Gini ade!" Ian tersenyum. "Karena cinta itu bukan mengekang. Cinta sesungguhnya belajar melepaskan. Bukan memiliki."

Diana diam. Masih memperhatikan.

"Aku bukannya ga pernah cemburu sama kamu. Sering. Selalu malah. Tapi di satu sisi aku juga mikir, apakah pantes kalo aku harus nyemburui kamu, yang berarti sedikit mengekangmu, sementara aku belum bisa dikatakan sempurna sebagai pasanganmu."

"Maksudnya belajar melepaskan?" Tanya Diana

"Akan ada saat dimana kita harus merelakan pasangan kita pergi. Entah itu karena takdir atau nasib. Juga akan ada saat dimana cinta tak lagi bersahabat tuk kita. Ketika saat itu datang, mau ga mau kita harus merelakan. Karena cinta bukan sesuatu yang bisa kita genggam erat. Cinta cuma sebuah rasa titipan yang akan sirna jika kita telah merasa memilikinya."

"Kalo emang kamu tau seperti itu. Kenapa sampe sekarang kamu masih mikirin kau? Kenapa kamu harus ngelampiasin perasaan kamu dengan kamu kerja gila-gilaan, kamu ga merhatiin kesehatan kamu, mulai minum dan lainnya?"
"Karena akhirnya aku sadar. Aku ga bisa. Aku ga siap tuk menjadi rela. Ternyata aku ga bisa siap tuk kamu tinggalin. Ternyata cinta yang membuat aku seperti ini. Terus terpuruk meski keadaan memburuk."

"Apa kamu ga menderita? Apa kamu ga sakit?"

"Akan lebih menderita jika aku cuma duduk sepi memikirkan sosokmu diantara semua bayang yang melayang. Aku harus mencari cara untuk sedikit belajar melupakanmu. Caraku adalah dengan bertingkah sibuk."

"Dan kamu bisa?"

"Seperti yang kamu liat. Aku ga bisa." Balas Ian. Matanya menerawang

"Mau sampe kapan kamu kayak gini?"

"Entahlah. Aku ga tau. Yang jelas aku menikmati detik demi detik saat tuk melupakanmu. Semacam perasaan sakit yang ternyata aku rindukan dalam tiap mimpi indahku."

"Kamu pernah nyesel Yan kenapa kita harus berpisah seperti ini?" Tanya Diana. Ia meminum airnya.

"Bukan akhiran yang aku sesali. Hanya awalan yang aku tangisi sekarang. Menyajikan rasa menjanjikan. Layaknya sebuah dosa. Yang menjanjikan surga namun neraka saat kau tenggelam bersamanya." Terlihat butir-butir air mata mulai mengalir berjatuhan ke pipi Ian. Bukannya mencoba menepis, Ian malah mendiamkan saat tangan halus Diana menyeka air matanya.

"Kamu tau Yan? Aku selalu bahagia setiap menyadari kalo aku kenal kamu dan aku pernah menjalin sebuah hubungan yang luar biasa denganmu. Kamu begitu spesial buat aku. Berawal dari kecupan manis yang kamu daratkan di bibirku. Kecupan pertama bagiku yang terasa berkesan, sampe aku ga berniat menghapusnya selama seminggu. Aku menyukainya. Bahkan mungkin menggilainya, hahaha.." Diana tertawa. Tawa yang begitu manis. Yang membuat Ian ingat akan saat pertama mereka bertemu.

"Aku malah menikmatinya. Bibirmu manis membuatku enggan tuk melepaskan. Oiya, aku menitipkan cinta ditiap kecupan yang ku sampaikan padamu."

"Kalo gitu, kecup aku!!" Pinta Diana.

"Sekarang? Saat ini?"

Diana mengangguk.

"Maaf, aku ga bisa. Benar sampe saat ini aku masih dan sangat cinta sama kamu. Tapi aku juga ga bisa berbuat seperti ini dibelakang calon suamimu. Aku posisikan diriku seperti dia. Pastinya aku ga akan bisa terima calon mempelaiku bermesraan dengan orang lain menjelang pernikahannya. Sorry.."

Diana tersenyum. Bukan sebuah penyesalan akan permintaannya yang tergambar di wajahnya, namun senyum bangga yang keluar.

"That's why i can't forget you!! That's why i still love you!! Kamu baik Yan. Bahkan terlalu baik tuk sekedar menyakiti secara diam dibelakang calon suamiku."

"Aku cuma berbuat apa yang ku pikir benar. Jangan sampe cinta yang aku rasakan ini membuatku gelap dan gila untuk meraung memintanya kembali sampai harus mengorbankan harga diriku."

Tiba-tiba ponsel Diana berbunyi. Sms. "Dia sms, aku harus cepet pulang, malam nanti kami ada pertemuan dengan keluarga." Ujar Diana. Muka datar.

"Oke, jadi pembicaraan kita berenti disini ya? Baiklah. Kamu harus pergi, dan aku pun harus mulai lagi bisa hidup tanpa beban." Ian membereskan meja kerjanya. Menaruh barang-barang yang akan dikerjakannya nanti.

"Aku minta maaf kalo akhirnya harus seperti ini Yan." Diana berkata lirih.

"Di, ini emang udah berakhir kan dari kemarin-kemarin. Waktu emang seperti itu bukan? Dia akan berhenti dan berakhir tak peduli seberapa besar harap kita padanya. Karna itulah kenapa waktu berputar, bukan berjalan." Jawab Ian tanpa berhenti membereskan meja kerjanya.

"Kamu mau dateng minggu depan Yan?" Tanya Diana penuh harap.

"Kamu mau janji ga akan nangis kalo aku dateng?"

Diana menggeleng.

"Kalo gitu aku ga dateng."

Setelah selesai membereskan meja kerjanya dan juga menaruh gelas-gelas bekas minum mereka, Ian mengambilkan jaket dan tas Diana lalu memberikannya. Saat hendak diangkat, dari tas itu keluar sebuah gelang karet usang berwarna hitam. Ian tertegun.

"Kamu masih nyimpen?" Tanya Ian sembari memungutnya. Diana mengangguk.

"Makasih." Jawab Ian dan memasukkan kembali gelang itu kedalam tas Diana.

"Aku pulang yah!!" Suara Diana hampir tercekat.

"Hati-hati ya! salam buat ibu sama bapak. Senyum dong, kan minggu depan kamu bakalan bagagia jadi ratu seharian. Jadi istrinya siapa deh?!" Canda Ian. Padahal dalam hatinya dia menangis. Tangis tanpa henti.

"Ian, udah deh.. Tuh, aku nangis lagi kan??!"

"Cengeng!!"

"Peluk!!" Pinta Diana saat Ian hendak membukakan pintu untuknya. Ian langsung kikuk dibuatnya. Sambil menggumam, Ian berusaha menghindar.

"Siniiiii, peluk!! Aku paksa nih!" Dengan satu dekapan, akhirnya Diana bisa memeluk Ian dengan erat. Atau malah sangat erat.

"Aku sayang kamu Yan" Ucap Diana dalam pelukan Ian.

"Aku juga Di" Suara Ian sendu. Akhirnya ia menangis. Tangis yang selama ini ditahannya. Tangis yang selama ini menunggu untuk keluar mengadu pada yang dituju.

"Baik-baik yah!!"

"Kamu juga!!" Ian melepaskan pelukannya. Sebelum benar-benar pergi, akhirnya Ian mencium Diana tepat di keningnya. Kecupan lembut yang seakan menjadi perpisahan terakhir yang abadi.

Dari kejauhan, Ian memandangi kepergian Diana. Entah kepergian untuk kembali, atau kepergian untuk selamanya, jika suatu saat ternyata Diana bisa bahagia dengan suaminya. Ian terus memandangnya hingga matanya terasa buram.

SELESAI

2 Responses so far.

  1. aul says:

    Dan aku tau maksud dari tulisan ini..:)

Leave a Reply