Itu dia. Sosok yang selama ini kunanti, sosok yang selama ini kurindu kehadirannya. Kini dia hadir tak jauh dariku. Iya, benar-benar tak jauh. Dia berada di seberang jalan sana, menungguku sambil deg-degan dan tersipu. Entah malu, entah grogi. Dan, ini adalah hari yang tentunya sudah kami tunggu sejak dulu. Sudah beberapa kali gagal bertemu, kali ini adalah waktunya. Tuh, buktinya ia masih setia menungguku disana. Menungguku mendatanginya, tidak pergi atau berlalu.

"Aku kesana ya!" Pintaku lewat telepon yang masih tersambung. Aneh ya, sudah bisa berpandang-pandangan tapi tetap telepon. Mungkin jarak ia dan aku tak sampai 10 meter.

"Kalo kamu nyeberang, kita putus!" Jawabnya sembari tersenyum.

Aku pun ikut tersenyum. "Coba aja kalo berani. Aku nyeberang ah."

"Ih maksa. Akunya grogi tau!" Balasnya manja.

"Aku juga. Udah ah." Telepon kumatikan. Ku kuatkan langkahku, karena kalau tidak, mungkin aku bisa saja langsung berlari, tidak mempedulikan mobil-mobil yang melintas begitu cepat. Saat itu, ingin rasanya aku berteriak bebas, menyuarakan bahagia dan rinduku. Delapan bulan bukan waktu yang sebentar untuk menunggu sebuah pertemuan, jadi rasanya wajar jika aku begitu semangat. Tapi urung ku lakukan. Malu. Hahaha.

"Hei jelek!!" Sapaku ketika mendekatinya. Yang dituju hanya diam sambil menyembunyikan wajahnya dibalik helm. Aku tersenyum.

"Aku grogi tau! Jangan mandangin gitu ah. Ih malu ini."

"Ih.. gitu dia. Aku pandangin ah." Balasku sambil memandangi dirinya. Ah, rindu ini akhirnya terbalas. Tunggu ini akhirnya tertuju.

"Kalo kamu masih mandangin aku, aku pergi nih." Katanya. Buru-buru aku cabut kunci motornya.

"Mau kemana kamu? Hehehehe.. Kuncinya aku pegang!"

"Ih.. Curang ih." Jawabnya sambil berlagak ngambek, masih dengan helm yang menutupi wajahnya. "Yuk jalan yuk, masa di sini?"

"Hayuk! Aku yang bawa yah!"

"Iyalah.. Masa aku?"

***

"Yang, kan kita udah ketemu nih setelah 8 bulan. Abis ini ngapain?" Tanyanya sambil meletakkan dagunya di bahuku. Malam itu kami hanya berputar-putar keliling kota. Tanpa tujuan, karena memang tidak ada tujuan.

"Uhm.. Apa ya? Ciuman kali."

Jawabanku dibalas dengan cubitan lembut di perutku. "Ih, nyosor!! Apa yang? Ngapain abis ini?"

"Ya kan kita udah ketemu. Sekarang aku bakalan mulai mikirin soal mimpi kita kedepan."

"Apa tuh?!"

"Nikah.." Jawabku mantap. Kemudian dia terdiam, sempat ada jeda waktu panjang. Kekosongan. Kemudian dia bertanya,

"Kamu beneran mau nikahin aku?"

"Iyalah. Masa iya ga beneran? Aku kan udah nunggu kamu lama. Ga rela banget kalo sampe kamu dinikahin orang lain"

"Beneran?"

"Iya, jelek."

"Cungguh?" Dari kaca spion kuperhatikan, bibirnya mulai dimanyunkan. Gaya anak jaman sekarang. Tapi tetap imut kok. Dia, pacarku.

"Cungguh, yang."

"Ciyus?" Kali ini ia memelukku erat.

"Ciyus."

"Miapah?"

"Miamoh ceulama'na." Dan kita tertawa. Tertawa diatas motor melintasi kota. Tertawa gembira, tawa yang ditahan sekian lama. Rindu yang tertahan sedemikian rupa, kini lepas. Hari itu.

"Dan 1 lagi sih yang. Tau ga kenapa aku mau nikahin kamu?" Tanyaku.

"Apa yang?"

"Mau buktiin aja, dada kamu beneran gede apa enggak." Jawabku kalem. Persis seperti yang kubayangkan, sebuah cubitan keras mendarat di pinggangku. Berkali-kali. Sakit sih, tapi tak apa. Ini kan yang aku tunggu selama ini. Pertemuan. Kebahagiaan. Dia.

Leave a Reply