"Hai, om!!" Sapaku ketika pintu dibuka. Sudah lebih dari dua jam aku menunggunya di sini. Didalam rumahnya. Menunggu dalam kegelapan, karena sengaja kubiarkan semuanya gelap, persis seperti saat orang ini meninggalkan rumahnya. Biar tak curiga. Aku duduk sambil memegang sebuah balok besar. Persiapan. Bersiap.

Yang disapa kaget, mungkin bingung darimana aku bisa memasuki rumahnya. Yang selanjutnya dia lakukan adalah menyerangku. Aku sudah tahu, langsung saja ku pukulkan balok yang ada di tanganku ke tengkuknya. Kena! Cukup keras hingga membuatnya tersungkur. Pingsan. Semoga.

***

"Bangun, om!" Ku siramkan air es ke wajahnya. Orang itu gelagapan, seperti mencari-cari sumber udara. Kini dirinya duduk di sebuah kursi. Tangan dan kakinya kuikat erat. "Ada apa ini?" Tanyanya.

"Ada apa ya, om? Masa ga tau?" Jawabku, kembali menyiramkan air es ke wajahnya. "Om abis pergi sama mama, kan? Kemana om? Ngapain?" Kini kutarik rambutnya hingga ke bawah, hingga masuk ke dalam ember berisi air es. Iya, dirinya melakukan perlawanan. Tapi percuma, tangan dan kakinya sudah kuikat, hanya perlawanan dari kepalanya yang bergerak ke kanan ke kiri. Percuma, tetap saja kepalanya masuk kedalam ember dingin itu.

"Om emang ga ada niat buat ninggalin mama? Serius deh, aku dan adek-adek yang lain ga butuh om. Beneran." Kuangkat kepalanya dan kupandangi wajahnya dari jarak sangat dekat. Begitu dekat hingga dapat kurasa hembusan nafas yang keluar dari hidungnya. Dingin, nampaknya kedinginan.

Dia cuma memandangku tanpa berkata apa pun. Dapat kurasakan kemarahan dari tatapan matanya. "Jawab dong, om!!" Sebuah tamparan mendarat di pipinya. "Jawab!! Mana nih orang yang sehari-hari sok jagoan, yang gayanya kayak preman? Mana? Baru diginiin udah diem. Jawab!!" Aku berteriak didepan kupingnya.
 
 "Kamu tau, kamu bakalan nyesel udah ngelakuin ini semua sama om! Kamu akan nyesel. Hari ini kamu bisa menyiksa om, tapi di hari lain, om bakal cari kamu dan bikin kamu nyesel." Jawabnya penuh amarah.

Ku tarik kepalanya mendekat, hingga hidung kami beradu. "Om tau, ga ada hari esok buat om. Dan om ga akan pernah bisa bales dendam. Ga akan. Hari ini dan selesai. Sorry, om" Jawabku tersenyum.

"Jadi, bisa kita mulai?" Aku kembali menyiramkan air es. Kali ini tidak hanya wajahnya, tapi tubuhnya pun kubasahi. Kemudian kuambil sebuah alat yang sudah kubuat sedemikian rupa sehingga bisa mengalirkan listrik ke tubuh orang ini. Iya, itulah mengapa aku membasahi dirinya.

"Om, tahan sedikit. Agak sakit." Wajahnya meringis. 
 
"Bangsat kamu!!". 
 
"Oh, kalo gitu ini akan menjadi sangat sakit.". Aku terkekeh.

Sebuah alat berbentuk topi besar dari besi kupakaikan di kepalanya, dan 1 lagi, alat berbentuk raket yang ku tempelkan di punggungnya. "Siap-siap, om. Siap-siap." Kunyalakan mesin yang menghantarkan listrik ke tubuh orang itu. Tak lama, tubuhnya mulai kejang-kejang. Kemudian, bau hangus mulai tercium, oh itu rambutnya yang terbakar. Oh, itu punggungnya yang mulai terpanggang.

"Sakit, om?" Orang itu hanya berteriak. Teriakan panjang yang penuh dengan rasa sakit. Setelah merasa puas, kuhentikan aliran listrik itu. Orang yang kupanggil om ini langsung lemas tak berdaya. Malah mau tertidur. Sebentar, enak saja! Permainan baru dimulai. Kuambil lagi seember air es dan kusiramkan ke tubuhnya. Kepuasan tersendiri melihatnya kaget dan terbangun.

"Coba om tuh denger waktu awal aku bilang aku ga suka om ngedeketin mama, kan ga akan kayak gini." Kutendang kaki kursi hingga orang itu terjerembab jatuh. Setelah ku kembalikan posisi duduknya, langsung saja ku ayunkan palu ke kedua lututnya. Jujur, bunyi tulang yang hancur itu bikin ngilu, apalagi ditambah dengan teriakan kesakitan dari orang itu. Lutut selesai, kini tulang keringnya. Dan lagi-lagi kudengar teriakan yang sangat menyayat. Ah, lebih menyayat mana, dibanding perasaanku ketika ibuku pergi dengan orang seperti ini? Pikiran seperti itu terus kutanamkan dalam otak, agar aku memiliki kekuatan untuk melanjutkan ini.

Dirinya masih berteriak dan menangis kesakitan saat aku sudah selesai memukuli kedua tulang keringnya. Melihat ada peluang untuk mendapatkan teriakan yang lebih besar, dengan cepat kuarahkan palu itu ke mulutnya yang tengah terbuka karena berteriak. STRIKE!! Gigi depannya hancur semua.

"WAAAAAAAAAAAAAA, SAKIT OM? HAAAAAAA?" Aku ikut berteriak sambil membuka lebar mulutnya dengan kedua tanganku dan berteriak di mulutnya. "SAKIT? HAH? SAKIT?" Kepalanya mengangguk.

"Sekarang, lawan aku. Ayo kita berantem." Aku lepaskan ikatan di kaki dan tangannya. Kutendang kursi itu jauh-jauh, sampai dirinya terjatuh ke lantai. "Ayo bangun, om!! Badanmu lho lebih besar dari aku. Lawan aku! Atau om mau istirahat dulu, ya udah, silahkan." Kunyalakan sebatang rokok sambil merapikan rambutku.

"Emang ini ga bisa dibicarakan baik-baik? Ga usah seperti ini." Jawabnya, mengiba.

"Ga bisa. Kalo mau diomongin baik-baik ya kemaren-kemaren. Sekarang udah ga bisa. Ayo bangun, lawan aku!"

Karena tidak juga bangun, kudatangi dirinya. Kuambil balok yang tergeletak di lantai dan mulai memukuli dirinya. "AYO LAWAN!! AH, KATANYA JAGOAN!!" Bertubi-tubi kuarahkan balok itu ketubuhnya. Perut dan tangannya yang menjadi fokusku. Ternyata, suara balok yang menghantam tubuh itu sangat pilu terdengar. Tidak enak. Tapi, the show must go on. Tetap harus selesai.

Setelah pukulan yang entah keberapa, orang itu sudah tidak bersuara. Kuhentikan pukulan balok ke tubuhnya. Tubuhnya pun diam. Tidak bergerak. Tadinya kupikir pingsan, hingga dugaan itu berubah setelah setengah jam berlalu dan tidak ada respon darinya.

"Udah selesai, om. Makasih ya! Kalo ga gini, om pasti akan terus ngedeketin mama." Bisikku ke telinganya.
***

"Nak, bangun nak!! Mama pergi dulu ya. Kamu jaga rumah. Kalo mau makan, di kulkas ada makanan tuh, tinggal dipanasin aja lagi. Bye!"

"Mama mau kemana?"

"Pergi sama om Benny. Udah ya, love you.."

Dari balik jendela, kulihat mama menggandeng tangan orang itu kemudian menaiki motor. Ah, sial. Ternyata cuma mimpi. Keberanianku cuma sebatas mimpi.

One Response so far.

  1. kw says:

    wow bagus, susah lho bikin cerita kejam tanpa beban begini, cuman ga usah pake kesimpulan, kalimat terakhir ah sial..... dihilangkan saja :)

Leave a Reply