Kamu angkat teleponnya. Aku mau ngomong. Gak akan lama, tapi berarti. Sekarang yah.

Setelah memastikan sms itu terkirim, kemudian aku menghubunginya. Tentu menggunakan telepon genggamku. Apa lagi? Setelah beberapa kali nada sambung, terdengar suara yang sudah sangat aku hafal. Suara yang pelan namun lucu, suara seorang wanita yang sangat aku sayangi.

"Halo! Kamu dimana? Aku mau ngomong. Dengerin ya!"

Yang kudengar hanya suara isakan. Isakan seperti anak kecil yang tidak dituruti permintaannya. Terisak. Jujur, aku tidak pernah tega dan tidak pernah bisa mendengarnya menangis seperti itu. Hati ini tak pernah mampu. Yang aku mau, melihat dan mendengarnya selalu bahagia. Dan tertawa.

"Kamu.. Kamu ngomong aja. Aku dengerin" Jawabnya disela isak tangis.
"Sayang, kamu tau kan aku sayang kamu? Kamu tau kan seberapa aku butuh kamu?"
"Iya. Aku tau." Masih terisak.
"Dan aku pun ga pernah mau ditinggal kamu. Kita punya janji kan untuk bersama selamanya, sampe nanti ada Raya dan Rifky kecil. Iya kan? Inget kan kamu?"

"Aku tau kok yang. Aku masih inget. Kamu dimana, kok rame gitu suaranya?" Jawabnya. Meskipun sudah diam, namun isakannya sesekali masih terdengar.

"Gak penting aku ada dimana sekarang. Aku mau tanya satu hal sama kamu."

"Apa yang? Apa?"

"Kalo misalnya.." Suara angin yang kencang cukup membuatku berhenti bicara. "Kalo misalnya keadaannya ga seperti ini, apa yang akan kamu lakuin? Apa yang akan kita lakuin, yang?"

"Kamu kenapa nanya kayak gitu?"

"Jawab aja yang. Aku mau tau."

"Ya aku akan selalu bersama kamu. Jalanin ini semua berdua sama kamu. Sampe nanti kita nikah, sampe kita tua dan mati. Terus berdua yang."

 "Yang.."
"Yang.. Kamu kemana? Hallo?!"
Aku menarik nafas panjang. "Sekarang kamu baik-baik yah. Beneran baik-baik. Mendengar suara kamu dan penjelasan kamu udah bikin aku tenang dan senang. Makasih ya yang."

"Yang? Maksudnya apa sih? Sayang?"

"Baik-baik disana. Baik-baik yah.." Dari atas sini, mobil-mobil dan orang-orang dibawah sana terlihat seperti mainan. Kecil dan imut. Pohon-pohonnya sama persis seperti mainan yang dahulu sering dibelikan ibuku. Kecil.

Kuambil nafas panjang. "Aku sayang kamu". Handphone aku letakan di sebelahku. Dan sedetik kemudian, tubuhku sudah meluncur dengan cepat dari atas gedung 35 lantai.

Kau tahu rasanya? Bebas, lega. Sebut aku pengecut dengan mengakhiri hidup seperti ini. Tapi hidup tanpa dirinya? Tak pernah terbayangkan. Sedikit pun.

Tubuhku mendarat tepat diatas sebuah mobil yang sedang melintas. Entahlah, rasanya sakit. Ada sekitar 5 detik aku bisa melihat apa yang terjadi. Kepanikan. Orang-orang bingung, sebagian menonton. Mungkin esok akan ada berita di koran tentang seorang lelaki yang terjun dari lantai 35 sebuah gedung. Mungkin beritanya kecil, atau malah headline. Aku tidak peduli. Yang aku peduli sekarang, aku dapat menutup mata dengan tenang setelah mendengar suara dia. Pacarku.

Leave a Reply