Pernah tidak merasa gugup yang terlalu? Atau rasa mual yang tak henti ketika hendak menemui seseorang? Kalau iya, aku sedang merasakannya sekarang.

Aku sedang duduk di pojok sebuah cafe ditemani segelas susu cokelat hangat. Tangan kananku memegang handphone, sedangkan jemari di tangan kiriku memainkan sebatang rokok. Belum, belum dinyalakan. Niatnya baru akan kunyalakan jika orang yang aku tunggu tidak datang.

Seperti pertanyaanku di awal tadi. Pernah merasakan perasaan itu? Aku sedang. Gugup yang sangat dan mual yang menyiksa karena menunggu seseorang. Bukan karena menunggu yang menyebabkan aku seperti itu, namun karena hal yang akan kami bicarakan.

Sebentar, kami? Iya, dia sudah datang. Duduk didepanku. Memakai kaus merah dipadu dengan jeans belel, tidak lupa rambutnya dikuncir kuda. Terlihat segar dan menyenangkan. Seharusnya. Namun matanya tidak memancarkan perasaan senang. Yang ada sendu. Oh, tampaknya dia sudah tahu apa yang akan terjadi setelah ini.

"Mau pesan apa?" aku bertanya

"Kayak biasanya aja." jawabnya tak acuh.

"Cappuccino hangat?" tanyaku dibalas dengan anggukan

Sumpah, aku paling kesal dengan suasana ini. Suasana sepi dimana kami hanya diam tanpa suara. Matanya menatapku. Biasanya yang kulihat kemudian adalah tatapan teduh penuh cinta darinya. Tatapan yang berisi harap dan kasih. Namun kali ini tidak. Kosong. Matanya menatap kosong dan dingin.

"Ga usah lama-lama, Zal. Langsung aja kamu ngomong. Aku ga mau kelamaan disini" dia membuka obrolan kami tanpa menatap wajahku. Matanya terpaku pada satu titik yang entah apa.

"Ya seperti yang aku sms tadi. Kayaknya kita udah sampe di satu titik dimana semua hal harus berhenti deh, yang."

"Emang harus? Emang udah ga ada jalan keluar? Biasanya lho kamu bisa nenangin aku dari keadaan yang jauh lebih sulit daripada ini" ucapnya, masih tanpa memandangku.

"Aku ga tau harus ngapain lagi, yang. Rasanya berat. Keadaan ini berat." tanganku mencoba memegang tangannya namun gagal, ia menarik tangannya ke bawah meja.

"Jadi kamu mau kita pisah?" meskipun menunduk, aku dapat melihat air mata yang mulai mengalir di pipinya.

"Aku cinta kamu, Zal.."

"Cinta kan ga harus selalu sama-sama, yang"

"Tapi kamu sendiri pernah bilang kan? Untuk apa cinta kalo enggak bersama-sama?" matanya mulai menatapku. Tentu setelah ia menyeka air matanya.

Merasa bersalah, gantian aku menunduk. Sial! Sulit ternyata melewati ini.

"Akan ada saatnya nanti cinta yang kita punya perlahan menghilang dan sirna."

"Tapi aku ga bisa kalo ga ada kamu. Aku ga mampu, Zal."

"Bukannya selama ini kamu yang rajin minta putus sama aku? Kenapa jadi begini saat akhirnya aku mengiyakan permintaanmu?"

"Karena.. Karena aku ga pernah benar-benar ingin kehilangan kamu. Aku ga mau. Aku ngucapin itu semata-mata karena emosi, bukan karena ingin pisah."

"Kalo gitu saat ini aku serius. Aku ingin pisah."

"Terus buat apa kita bermimpi soal masa depan? Untuk apa ngomongin soal rumah tangga kalo akhirnya kamu pergi?" dia semakin terisak.

"Aku kira jalannya bakalan mudah. Aku kira ini akan gampang, namun ternyata sulit. Keliatan berat." tenggorokanku kering. Dan apes, minumanku habis.

"Jadi kita pisah? Itu yang kamu mau? Kamu nyerah tuk yakinin papa dan mama tentang cinta kita?"

"Bukan nyerah, Mai. Ada saat dimana kita harus berhenti memperjuangkan sesuatu. Bukan karena menyerah namun karena keadaan."

"Kamu udah ga cinta aku, Zal?" matanya memandangiku dalam. Serasa ditelanjangi oleh tatapan itu. Aku menunduk.

"Bilang sama aku, kamu udah ga cinta aku?" suaranya tertahan tangisan.

"Aku harus pulang, Mai. Jaga diri kamu baik-baik." aku bangkit dari kursi. Dia menutup mulutnya erat-erat, menahan tangisan yang sepertinya meledak-ledak.

Selesai sudah. Sekarang aku menuju kasir dan sesaat lagi meninggalkan cafe. Setelah itu semua selesai. Hilang sudah rasa mual dan gugupku. Seharusnya. Harusnya. Namun keringatku malah keluar lebih banyak. Gugupku hilang digantikan perasaan bersalah.

Seketika terlintas di kepala tentang kenangan antara aku dan dia. Perjalanan kami, kisah kami. Terus terlintas, terus mengulang dari hal yang paling kecil. Hati kecil swakan bertanya padaku, "sungguh inikah akhir yang kau mau? Inikah akhir dari segala hal yang sudah terjadi?"

Dalam hidup, terjadi begitu banyak kesempatan yang kadang, tanpa kita sadari, terbuang begitu saja. Ada banyak penyesalan yang akhirnya hanya menjadi cerita sedih. Apakah ini juga akan menjadi penyesalan berisi picisan sedih? Sejenak aku hentikan langkahku. Memikirkan tentang semua ini. Ada hal yang memang harus diperjuangkan. Soal memperjuangkan atau tidak, pilihan tetap berada pada kita sendiri. Aku tak mungkin memutar waktu, yang bisa saja menjadi penyesalanku.

Yang kulakukan selanjutnya adalah kembali ke cafe itu. Berlari, mengejar waktu agar tidak pergi. Iya, ini bodoh. Tapi tak ada salahnya mencoba.

"Mai!" setengah berteriak. Aku bisa merasakan seisi cafe memandangiku dengan cara aneh.
Dia masih ada disitu, duduk sambil terus menangis. Saat kupanggil ia hanya menatap sekilas lalu melanjutkan tangisannya. Ku dekati dirinya.

"Aku pikir kita bakalan punya anak bernama Naya, tapi ternyata enggak. Kamu malah pergi" liriknya sambil masih menangis.

"Maafin aku yah, yang. Iya, aku cinta kamu. Sangat cinta kamu. Aku ga mau pergi. Kita akan terus sama-sama. Ga akan pisah." aku peluk erat dirinya.

"Kamu ga jadi pergi, Zal?"

"Enggak. Kita ga akan pisah. Aku ga akan pergi. Kita jalanin sama-sama. Aku sayang kamu, yang.."

"Aku juga sayang kamu. Jangan pergi yah! Jangan pergi.." dipeluknya aku semakin erat.

"Sekarang kita pulang yuk! Udah sore yang."

"Tapi aku laper yaaaaang! Mau maem, mau ngemil, mau es krim! Kamu tanggung jawab pokoknya karena udah bikin aku nangis! Tanggung jawab!" balasnya penuh manja.

"Duh.. Mulai deh.."

Dan, cerita ini kembali dimulai. Berdua kami akan berjalan. Perjalanan panjang yang tidak diketahui akhirnya. Entah bahagia atau malah duka. Aku tak peduli, aku cinta dia.

Leave a Reply