Hampir saja telat. Sambil berlari aku berusaha mengejar bis itu. Keadaan jalan sehabis hujan sukses membuat celanaku basah di bagian bawahnya. Untung sudah dalam perjalanan pulang, sudah tidak berpengaruh lagi.

Dengan sekali lompatan, aku berhasil menaiki bis itu. Untung saja bis dalam keadaan kosong, jadi aku dapat dengan bebas memilih tempat duduk. Aku duduk disamping seorang lelaki yang seumuran denganku, mungkin agak lebih muda sedikit. Wajahnya murung, daritadi yang dilakukannya hanya melihat jam tangan dan handphone. Sepeti sedang bingung.

"Ke Solo juga, mas?" tanyaku membuka obrolan.

"Iya, mas. Pulang." jawabnya tak acuh.

"Wah sama dong. Ada acara apa di Surabaya?"

"Niatnya sih mau ketemu sama pacar, tapi yang ditunggu malah ga dateng. Kesel jadinya deh, mana kehujanan pula" dia menggerutu.

"Oh, gitu. Ya emang ga coba dihubungi, mas? Telepon atau sms gitu?"

"Sudah, tapi ga dijawab. Bingung saya jadinya. Mbok kalo emang ga jadi ketemu ya bilang, kan jauh mas, perjalanan dari Solo ke Surabaya."

"Iya sih." aku mengangguk sembari membayar karcis bis. "Lah emang udah sering mas kayak gini?"

"Sering, mas. Sebulan itu jadwal ketemu kita 4 kali, tapi kadang ketemunya cuma 2 kali,malah satu kali, pernah ga bisa ketemu sama sekali."

"Tapi kan emang udah dikabarin kalo ga bisa ketemu, kan?"

"Halah siapa bilang? Ya kasusnya sama, aku nunggu lama di Surabaya. Megelne!" sungutnya dengan logat Jawa yang medok.

"Kalo emang begitu, kenapa ga sampeyan tinggalin aja? Ya daripada bikin sakit hati?" tanyaku setelah meminta ijin untuk mematikan pendingin. Entah karena hujan atau temperatur pendingin di dalam bis, aku merasa kedinginan.

"Ga bisa, mas. Aku tuh cinta banget sama dia. Pacarku tuh sebenernya baik banget, perhatian dan sayang sama aku. Wah, apalagi kalo udah cemburu, pernah tukang pecel dicemburuin sama dia saking ga mau kehilangan aku"

Aku terkekeh.

"Serius ini mas." suaranya meninggi. Seperti tidak terima dengan sikapku. "Emang pacarku tuh gitu. Ah, susah deh cari pacar kayak dia, mas. Cuma akhir-akhir ini agak mbingungi, mas. Ya dua bulan ini deh, jadi agak susah ditemui gitu."

"Ya diajak ngobrol baik-baik coba, mas. Masa ga pernah ngobrol?",  tanyaku sembari mengunyah tahu sumedang yang dijual di dalam bis. Lumayan, bisa mengganjal perut di suasana dingin seperti saat ini.

"Udah sih mas. Tapi akhirnya sama aja, tiap disinggung soal perubahan sikapnya, pacarku malah ngalihin pembicaraan. Dipaksa malah marah. Ah, heran aku mas."

"Apalagi gue yang sama sekali ga ngerti.."

"Lah kalo masnya sendiri ada apa ke Surabaya? Urusan kerjaan, gitu?" dirinya balik bertanya.

"Siapa? Saya? Oh, abis ketemu sama cewek."

"Wah, asik dong mas. Sukses ya? Ketemu dimana mas?" rentetan pertanyaan keluar dari mulutnya.

"Ya asik. Bisa dibilang sukses. Ketemuan di kost-nya kok. Kenapa, mas?"

"Ah, gak apa-apa. Enak masnya nih. Moga lancar ya mas hubungannya sama pacarnya." tandasnya sambil menenggak sebotol air mineral.

"Kalo soal lancar sih susah, mas. Dia pacarnya orang."

Mendadak orang disampingku ini diam. Terlihat bingung dan heran.

"Lah kok bisa-bisanya, mas? Emang pacarnya ga tau? Terus gimana ketemuannya itu?"

"Awalnya kita cuma ketemu di mall kok, mas. Terus tuker-tukeran nomor telepon, telepon-teleponan, akrab terus jadian. Gitu. Aku aja sampe sekarang ga tau pacarnya yang mana."

"Kok sampeyan mau-maunya pacaran, padahal kan dia udah punya pacar?"

"Dia baru bilang punya pacar setelah kita pacaran. Ya mau gimana lagi? Akhirnya terusin aja."

"Jahat, sampeyan, mas. Jahat" dia menuding ke arahku.

"Atas dasar cinta, gimana dong, mas?"

Suasana terasa kaku untuk beberapa lama, aku dan dia saling diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Perjalanan masih jauh, dan aku sudah mulai merasa bosan jika terus diam seperti ini.

"Mas, emang pacarnya tinggal dimana?"

"Di Surabaya, mas."

"Iya, tau. Maksudnya sebelah mana?"

"Deket stasiun kok, mas. Dia kost disitu."

"Lah, kok sama? Kebetulan banget nih!" aku hampir berteriak. Entah terkejut atau gugup.

"Ah, tapi kan gak mungkin pacarku yang jadi pacarnya mas. Pacarku orang baik kok. Mungkin dia sekarang emang lagi sibuk aja, makanya dia jadi susah ditemui."

"Iya, saya juga gak mikir sampe kesana kok. Gak mungkin juga kan."

"Lah emang pacarnya mas tinggal didekat stasiun sebelah mananya ya?" dia bertanya sambil merapikan tasnya.

"Ya sebelah situ deh. Dijelasin juga kan situ ga bakalan ngerti, mas" jawabku sambil tersenyum.

"Hahaha.. Iya ya mas, lucu juga aku nih. Hahahaha.."

Kami tertawa bersama. Setelah itu, keadaan jadi semakin mencair. Kami membicarakan banyak hal tentang kehidupan kami masing-masing, hitung-hitung membunuh waktu di perjalanan. Tak terasa akhirnya kami berdua mengantuk dan terlelap.

***

"Sambil duduk aja yah, aku pegel kalo berdiri gini." pintanya, sayu.

Kini kami duduk sambil berhadapan, aku memangkunya.

"Iya, aku buka yah!"

"Buka perlahan yah, jangan kenceng-keceng bukanya. Kamu udah tau kan cara buka bra aku?" katanya sambil menelungkupkan kepalanya di dadaku.

"Tau kok. Sebentar ya!"

"Cepetan, yaaaang... Cepet" suaranya mulai menggemaskan. Semakin menggemaskan. Menjadi-jadi.

"Sini aku bukain kemejanya kamu. Lama banget sih sayaaaang" Dalam sekejap dia sudah meraih kancing terakhir kemejaku dan melepaskan kemejaku. Sejurus kemudian bibir kami sudah saling berpagut. Tangan kami saling bergenggaman. Semakin seru, semakin berkeringat.

Yang terjadi kemudian ku rebahkan dirinya diatas kasur. Kurentangkan kakinya sambil berusaha membuka ikat pinggangku. Kami sudah saling pagut tanpa busana saat teleponnya berdering.

"Yang, angkat dulu tuh teleponnya. Penting mungkin" aku melepaskan pagutanku di lehernya.

"Ga usah. Ngapain juga ditanggepin. Ngerusak mood aja. Ayo yang, lanjutin.. Lanjutin.."

"Aduh!!"

Kepalaku tertimpa tas plastik yang ditaruh di bagian atas bis. Sial! Sedang bermimpi seru malah kena tas plastik jelek begini. Ah, iya! Aku bermimpi tentang kejadian hari ini, dimana aku bertemu dengan pacarku. Memang memberikan semangat lebih. Sangat!

Ku cari-cari air minumku. Itu dia, terselip di belakang pinggung orang yang sedari tadi ada disampingku. Dia sedang sibuk memainkan handphone. Serius sekali. Sambil mengambil botol minum, aku tengok sedikit ke arah handphone-nya.

Mendadak, aku membeku.

Benarkah?!

Coba ku tengok sekali lagi untuk meyakinkan. Iya, benar.

Kegiatanku ini disadari oleh si pemilik handphone. "Kenapa, mas? Bengong gitu?"

"Hwoooogh, sampeyan ngintip hapeku ya? Ini ada fotonya pacarku. Cantik kan?"

"Ini pacarnya situ?" tubuhku menjadi dingin. Maksudku, sangat dingin.

"Iya, pacar kesayanganku. Kenapa toh mas?"

"Namanya siapa, mas?"

"Aurelia. Biasa dipanggil Lia. Mau kenal toh? Awas kalo sampe naksir!" dirinya terkekeh. Aku terdiam.

Sejurus kemudian ku raih tasku dan berjalan menuju pintu bis. Aku turun di sini. Entah dimana, tempat tak ku kenal. Bodo. Harus turun.

"Lho, mas!! Kemana, mas?! Katanya ke Surabaya? Mas!!" lelaki itu terus memanggilku dengan ekspresi heran.

Bangsat. Ternyata lelaki itu pacarnya Lia.

One Response so far.

  1. thank you very much for the information provided

Leave a Reply