"Halo.. Halo?! Halo, yang! Kamu dimana?"

Tuuuuuuuuutttt

Suara telepon dimatikan. Rea mendesah. "Kok dimatiin lagi sih? Susah banget dihubungin deh." gumamnya. "Coba lagi ah. Masa daritadi sibuk terus?" Rea kembali menghubungi pacarnya, Dino.

"Halo, yang! Kamu dimana? Kok susah banget sih dihubungin dari tadi pagi? Aku sms juga ga dibales!"

"Uhm.. Halo yang! Maaf.. maaf. Aku baru bangun tidur nih. Tadi pas kamu telepon eh kepencet, jadinya mati lagi deh" jawab Dino.

"Kok udah tau gitu bukannya telepon balik? Kamu tuh nyebelin deh, yang!" Rea merajuk. Manjanya keluar.

"Aku nyebelin? Kamu nyenengin. Aku sayang kamu" jawab Dino sambil terkekeh.

"Gak usah ngebaikin gitu deh, aku nih lagi marah tau gak sih?!"

"Kamu tuh gak marah, sayang. Kamu kangen, tapi akunya susah dihubungin, jadinya kamu bete. Udah, kalo kangen bilang aja kangen. Kita ngobrol, atur janji ketemuan. Ga usah pake marah. Yah?!" terdengar suara lembut Dino. Dalam hati, Rea mengiyakan ucapan Dino. Iya, dirinya memang rindu pacarnya. Tapi tetap saja dia kesal karena yang dirindukan seakan tidak merasa. Susah dihubungi. Biasa, percintaan anak muda.

"Iya, aku kangen kamu. Tapi kamunya ngebetein. Kenapa juga sampe susah dihubungi gitu? Aku khawatir tau ga sih?!" Rea kembali merajuk.

"Iya, maaf. Aku seharian tidur. Kecapean, yang. Semalem begadang sama temen-temen. Biasa, abis maen futsal terus bilyar gitu. Ngantuk deh, capek deh, tidur deh." jawab Dino dengan suara yang dibuat-buat. Meledek Rea.

"Tuh kan! Begadang aja terus! Nanti kalo udah sakit jangan minta aku nemenin kamu yah! Kebiasaan kamu tuh."

"Ih, galaknya kamu tuh. Enggak, ga bakalan sakit kok. Tenang aja lagi." Dino membakar rokok dan menyalakan televisi.

"Wuih! Ada berita seorang wanita membunuh pacarnya karena cemburu. Nyeremin amat dah!" gumam Dino.

"Yee nyebelin ni orang! Di telepon malah nonton tivi! Matiin ga? Aku tuh lagi pengen teleponan sama kamu, tau!" teriak Rea yang membuat Dino menjauhkan telepon dari telinganya. Teriakan Rea cukup untuk membuat satu keluarga terbangun di malam hari.

"Iya, aku matiin. Marah-marah aja nih orang nih. Kamu kenapa sih yang?"

"Aku tuh kesel, kangen juga. Makanya jadi begini."

"Ah, biasanya juga sering tuh kangen campur kesel, tapi ga segini galaknya. Pasti ada hal lain juga kan?! Hayo ada apa?" lelaki itu kembali membakar rokok. Terhitung sudah lebih dari tiga batang dia merokok sejak awal telepon tadi.

Rea diam. Kembali teringat dengan perkataan beberapa temannya di kampus. Mereka membicarakan hal yang tidak-tidak tentang Dino. Awalnya Rea tidak mau mendengarkannya, tapi menjadi risih, karena kini sudah hampir separuh dari teman-temannya membicarakan hal yang sama kepada Rea. Mereka bilang kalau sebenarnya Dino adalah gay, penyuka sesama jenis. Pertama mendengar ini, jelas Rea langsung marah. Tidak mungkin. Masak Dino yang begitu jantan, yang begitu "laki" bisa-bisanya menjadi gay? Apalagi kalo mengingat kehidupan ranjang mereka yang jauh dari kata membosankan.

Tapi akhirnya Rea menjadi ragu ketika akhirnya semakin banyak yang mengatakan hal itu kepadanya. Akhir-akhir ini dirinya menjadi bimbang dan resah. Mau bertanya tapi takut menyinggung perasaan Dino yang akhirnya menyulut masalah baru dalam hubungan mereka. Tidak ditanyakan, yang ada malah membuat dirinya semakin resah dan bertanya-tanya. Namun untuk menjawab keresahan dan keraguan hatinya, ia putuskan untuk menanyakan hal itu kepada Dino. Dia sudah siap menanggung akibat dari pertanyaan itu.

"Hei, aku tanya juga. Ada apa, yang?" Rio mengulang pertanyaannya.

"Uhm.. Sebenernya ada satu hal yang mau aku tanyain sama kamu, yang. Tapi janji kamu jangan marah, yah?!" suara Rea terdengar terbata-bata.

"Iyah, gak akan marah kok. Apa sayang? Apa?"

"Bener gak marah yah?!"

"Iya, yang. Apa?"

Rea menimbang-nimbang. Maju mundur. Bertanya sekarang atau tidak sama sekali. Biarlah dirinya yang diliputi rasa penasaran.

"Gak jadi nanya deh, yang.." jawab Rea.

"Tuh kan?! Cepet deh mau nanya apa. Aku bakalan marah kalo akhirnya kamu ga jadi ngomong. Cepet ngomong, gak?"

"Udah, gak jadi. Beneran deh."

"Cepetan, Re!" Dino menahan suaranya agar tidak berubah menjadi suatu bentakan. Rea menyadari itu. Dino marah, Dino tak akan pernah memanggil Rea dengan nama jika tidak sedang marah.

"Iya, jangan marah. Aku mau tanya. Akhir-akhir ini aku sering banget diomongin sama temen-temen, aku juga udah denger dari mereka. Katanya kamu itu gay yah, yang?" akhirnya Rea menanyakan hal yang selama ini menjadi ganjalannya.

Ada jeda cukup lama setelah pertanyaan itu.

"Halo, yang?! Halo?! Katanya gak bakalan marah?! Kok diem?" Rea panik.

"Iya. Kamu denger dari siapa tuh? Siapa orangnya?"

"Ya banyak, yang. Gak mungkin juga aku sebutin satu-satu. Sekarang jawab aja deh. Kasih tau, biar aku tenang."

"Sekarang aku tanya sama kamu. Emang kamu percaya sama apa yang kamu denger dari mereka? Emang kamu yakin kalo aku seperti yang mereka bilang?"

"Enggak, yang. Aku sih percaya kalo kamu normal. Aku yakin kalo kamu lurus. Tapi kan tetep, yang. Banyak banget yang bilang kayak gitu. Ya aku jadi agak ragu, makanya aku nanya sama kamu."

"Aku tanya lagi. Emang kamu yakin aku gay, sementara aku ga pernah puas kalo lagi ciuman sama kamu? Kamu percaya gitu, sementara aku sanggup berjam-jam nidurin kamu?" tanya Dino.

"Eh, kok nanyanya sampe kesitu?"

"Just to make you know.."

"I... Iya yang. Aku sih yakin kamu ga gay. Kamu normal, iya kan?!" diam-diam, Rea membayangkan saat-saat dimana mereka tidur berdua, saat-saat Rea mengerang, mendesah penuh nikmat. Wanita itu juga membayangkan lekuk tubuh Dino yang sangat jantan dan wajahnya yang keras, wajah yang seakan siap menikam siapa pun yang meragukan kelelakiannya.

"Lagian yang, gak mungkin juga aku kayak gitu. Kayak ga ada kerjaan aja. Aku lho punya pacar yang seksi dan cantik kayak kamu. Kurang apa lagi? Udah cukup. Aku pun cinta sama kamu. Gak bisa berpaling dari kamu. Bahkan wanita tercantik pun gak bisa bikin aku ninggalin kamu, apa lagi lelaki lain? Duh.."

Seseorang membuka pintu kamar Dino. Langsung Dino menaruh telunjuk di bibirnya, mengisyaratkan orang itu agar tidak bersuara. Dino tersenyum ke orang itu dan kembali fokus ke telepon, bicara dengan pacarnya yang ada di sana.

"Halo yang?!" panggil Dino.

"Hei! Iya, aku percaya. Jadi apa yang mereka bilang itu ga bener, kan yang?"

"Ya enggaklah, sayang. Enggak bener sama sekali. Itu cuma orang-orang iseng aja yang pengen kita pisah."

"Tapi kok banyak yah?!" tanya Rea, masih belum yakin.

"Ya mungkin mereka janjian kali, biar kita bisa pisah. Makanya mereka banyakan, karena kalo cuma sedikit, udah pasti kamu gak percaya." canda Dino yang diiringi dengan senyuman. Rea pun tersenyum.

Ternyata seorang pria, sosok yang tadi masuk ke dalam kamar Dino. Kini pria itu mulai mendekati Dino, merentangkan peluknya ke arah Dino. Merasa terganggu, Dino melotot.

"Hehehehehe, kamu bisa aja, yang! Iya, sekarang aku percaya. Gak mungkin juga kamu kayak gitu. Ih, kalo kayak gini jadi pengen ketemu sama kamu deh, yang!" terdengar ketenangan dan keceriaan di suara Rea.

"Ketemu? Hayuk! Kapan? Pasti kangen banget nih kamunya.." Dino terkekeh.

"Lusa yah yang! Kita jalan ya, nonton terus pergi makan." ajak Rea.

"Pulangnya ke kost kamu, kan?!"

"Pake nanya lagi!" jawab Rea. "Ya iyalah, yang."

"Iya deh. Ya udah yah! Sekarang kamu udah tenang kan? Udah gak ragu lagi kan?"

"Iya, aku udah tenang kok sekarang. Makasih yah yang!" balas Rea.

Sekarang lelaki yang berada dalam kamar Dino kembali mendekati Dino dan menunduk tepat di depannya.

"Ya udah, aku mau mandi dulu nih yang. Nanti mau pergi ke swalayan, beli perlengkapan bulanan." ucap Dino. Dirinya mulai salah tingkah. Entah karena apa.

"Iyaaa! Nanti kabarin aku ya kalo udah mau pergi. Sayang kamu!"

"Iya yang. Sayang kamu juga!"

KLIK. Telepon dimatikan.

"Kangen yah?" tanya Dino pada lelaki yang kini sudah membuka celananya.

Sambil mengangguk, lelaki itu mulai memasukkan isi dalam celana Dino ke dalam mulutnya. Dino mendesah.

Leave a Reply