Melakukan perjalanan malam hari nampaknya menyenangkan, ya? Dan saat ini aku sudah berdiri di depan bis yang mudah-mudahan bisa membawaku menuju surabaya.

Oh iya, aku tinggal di Madiun, biar kau tahu jarak yang akan aku tempuh. Sebentar, ijinkan aku menaiki bis terlebih dahulu.

Bis yang ku tumpangi ternyata kosong. Atau memang biasa kosong seperti ini jika malam. Entah. Hanya ada beberapa penumpang yang akan pergi bersamaku mengarungi malam, menitipkan nyawa kepada supir yang terlihat ngantuk. Supir dan penumpang yang ngantuk. Perpaduan yang cocok. Seharusnya. Tapi ini kan perjalanan, bukan acara tidur bersama. Jadi, semoga supir itu tidak benar-benar mengantuk.

Perlu ku beritahu, bepergian pada malam hari menggunakan bis ternyata nyaman. Tidak ada tukang dagang yang suaranya dapat mengganggu tidur kita. Juga tidak ada pengamen galau yang bersuara parau. Nyaman sekali.. Ya setidaknya sampai aku mencium bau-bau tidak sedap. Seperti bau.. Ah, iya! Bau keringat dan sepatu.

Kucari-cari dari mana datangnya bau ini. Ah ternyata tak perlu susah mencari tahu, bau ini berasal dari para penumpang. Iya, bis malam seperti menjadi angkutan bagi mereka para pekerja yang pulang telat atau malah pulang kampung setelah bekerja di kota lain. Ya pantas saja. Seakan reflek, aku menciumi bajuku. Ternyata tidak bau, atau belum bau.

Bis sudah berjalan dari tadi, sekarang sudah memasuki Caruban. Kota yang bisa dibilang ramai ketika siang, malam hari seperti ini jalanannya kosong. Seperti diberi jalur balapan, supir langsung menggenjot gas sampai batas maksimal, membuat aku dan mungkin para penumpang lain bermain ketukan jantung. Lumayan,  berpacu begitu cepat seakan berlari puluhan kilo.

Sebelumnya aku tidak pernah pergi malam seperti ini. Takut. Ya takut orang jahat juga takut tersesat. Haha! Memalukan ya?

Ngomong-ngomong, mana kondekturnya ya? Seingatku, aku belim membayar tarif perjalanan. Ah, mungkin dia lupa, atau baru akan diminta ketika mau turun nanti. Ya sudah, aku lanjut menikmati perjalanan.

Bia kemudian memasuki wilayah Nganjuk. Yang kulihat di kiri dan kanan hanya hutan jati. Dalam hati sempat takut, kalau-kalau adegan dalam film horor menjadi nyata. Iya, aku takut tiba-tiba ada makhluk menyeramkan yang keluar dari dalam hutan, atau binatang buas yang bisa membuat panik seisi bis.

Sekilas darahku berdesir kencang, aku melihat warna putih yang terdapat pada salah satu pohon. Sumpah, aku ketakutan. Namun kemudian aku hanya terkekeh dan tersenyum menahan malu yang entah ku tujukan pada siapa. Ternyata setelah ku perhatikan dengan seksama, bayangan putih yang kulihat itu adalah bendera partai yang sudah memudar warnanya.

Selanjutnya aku sudah tidak tahu lagi daerah mana yang dilewati oleh bis ini. Kiri kanan hanya ada rumah-rumah yang di selingi dengan pemandangam hamparan sawah yang hitam karena gelap.

Aku pun terlelap. Sebelum benar-benar tertidur, aku menengok ke belakang, mencoba mencari kondektur. Sungguh, seingatku, aku belum bayar ongkos. Tapi ai kondektur malah asyik terlelap. Oh, ya sudah kalau begitu, aku pun tertidur.

Aku terbangun saat mendengar teriakan si kondektur bis. Sudah sampai Surabaya rupanya. Diluar masih gelap. Jam berapa ini? Aku memeriksa saku celana, mencari handphone. Lah, tidak ada? Duh, sepertinya tertinggal. Kulirik jam digital yang terdapat di dekat pintu masuk. Baru jam 5 pagi.

Kini bis sudah memasuki terminal. Melihat para penumpang lainnya turun, aku pun ikut turun. Kondektur dengan lantang berteriak sekaligus mencoba membangunkan para penumpang yang tertidur, "SURABAYA ABIS! SURABAYA ABIS!"

Teringat belum membayar ongkos, ku dekati si kondektur,"Pak, ongkosnya berapa dari Madiun?" si kondektur malah diam saja aku tanya begitu. Wajahnya lelah, menahan kantuk. Tak lama dia meninggalkanku saat ada penumpang yang meminta diambilkan barangnya di bagasi. Masa gratis? Tidak bayar ongkos? Yang benar saja! Jaraknya kan jauh.

Aku lirik supir yang sedang duduk di bangkunya. Kucoba memberi isyarat, berusaha menjelaskan kalau aku ingin membayar, sama aja. Si supir malah sibuk bermain handphone.

Baiklah. Tidak bayar. Langsung aku menuju ke dalam terminal. Sambil menunggu fajar, aku mau mencuci muka dan mencari sarapan. Kira-kira jam 7 pagi nanti aku kembali lagi ke Madiun.

Fajar menyambut wajahku hangat saat aku selesai mencuci muka. Eh, ini mana penunggu kamar mandinya? Gimana aku membayarnya? Oh, mungkin belum datang. Asik! Tidak bayar lagi. Belum pernah seperti ini, bepergian tidak bayar.

Tidak jauh dari WC umum, aku melihat seorang ibu dengan anaknya yang masih balita sedang bermain dengan mainan karet di tangannya. Anaknya gemuk dan putih, wajahnya lucu, menarik diriku untuk mendekati dan menggodanya. Itung-itung buang waktu menunggu waktu pulang ke Madiun.

Awalnya si anak terdiam saat menyadari aku ada di dekatnya, tapi kemudian dia mulai tertawa, menunjukkan gusinya yang belum ditumbuhi gigi. Aih, lucunya! Aku goda terus sampai si anak tertawa seru. Gemas ingin menggendong, tapi tidak enak juga. Penasaran, aku bertanya pada ibunya, "Umurnya berapa, bu? Lucu yah anaknya." ibu itu diam. Tidak mendengar mungkin. Aku ulangi lagi pertanyaanku. Sama. Dibalas dengan diam, malah ibu itu pergi menjauh meninggalkanku.

Si ibu pergi aku pun beranjak menuju depan terminal, mencari sarapan. Sepiring pecel dan teh hangat cukup mengganjal perut mungkin. Lalu aku berjalan menuju tukang nasi, melewati kios koran. Sambil lalu aku membaca headline sebuah surat kabar lokal.

SEORANG LELAKI DITEMUKAN TEWAS MENGENASKAN DI WC UMUM TERMINAL MADIUN

Wah, kasihan sekali. Siapa lelaki itu? Di bagian bawah headline ada tulisan yang menjelaskan kalau lelaki itu tewas dengan delapan tusukan di punggung dan perut. Handphone dan dompetnya hilang dibawa si pembunuh. Menyeramkan pembunuh jaman sekarang. Cuma untuk barang seperti itu saja harus membunuh. Kasihan pula si korban, pasti keluarganya menunggu di rumah. Nah,itu dia warung nasi pecelnya. Makan!

Tempatnya ramai, dipenuhi para pembeli yang ingin mengisi perutnya. Saking ramainya, si penjual sampai tidak kelihatan. Ah, aku tunggu saja sampai tidak terlalu ramai. Aku duduk di tikar yang sudah disediakan. Kebetulan ada koran yang tadi sempat aku curi-curi baca di kios koran. Aku melanjutkan lagi membaca berita soal pembunuhan itu, penasaran.

Aku menbaca hingga jelas, hingga tiba di satu paragraf yang membuatku terhenyak. Paragraf ini didukung dengan foto yang sangat ku kenali. Foto itu memperlihatkan si korban yang berlumuran darah dengan wajah kaku seperti menahan sakit. Aku kenal orang itu. Dan aku makin yakin kalau aku mengenal orang itu saat membaca lebih lanjut. Korban itu bernama Ray Rahendra.

Hah? Itu kan.. Aku.

2 Responses so far.

  1. Unknown says:

    Setaaann...............

  2. Anonim says:

    nggedubuzzzz....

Leave a Reply